Ingatlah Hari Ini (Bagian 5)



“Anne…Annnnneeeeeee.” Aurora bersusah payah menyamakan kecepatan berjalannya dengan Anne.

Anne seakan tidak perduli. Kakinya seperti setengah melayang. Aurora tidak mau kalah, ia berlari mendahuluinya dan menghadang di depannya.

“Ada apa sih? Kamu tahu sebentar lagi upacara bendera. Kamu pengin kita dihukum kayak pas kimia?”

Aurora melihat jam tangannya. “Masih ada waktu. Aku cuma bertanya sebentar sama kamu?”

“Apa?” Wajah Anne muram.

“Jujur sama aku. Erick itu cowok kamu?”

“Aku sudah bilang berkali-kali. B U K A N–Puas? ” Anne hendak mengayunkan kaki. Aurora cepat-cepat memegang tangan Anne.

“Tapi kenapa kalian mesra?”

“Apa yang kamu maksud mesra?”

“Kamu tidur di lengan dia?”

“Gitu aja kamu bilang mesra? Norak.“

“Aku tidak pernah begituan sama cowok yang sekedar teman.”

“Papamu pernah cium kamu? Papamu cowok kamu?”

“Gila kamu, Ne. Jelas lain dong sama Papa aku.”

“Kesimpulannya, tidak semua yang kelihatan mesra selalu ada apa-apanya.”

Aurora memegang lengan Anne. “Aku bukan musuh kamu. Aku ngomong ini cuma sebagai teman. Kalau emang benar dia cowok kamu, aku cuma mau bilang pendapatku. Dia kelihatannya tua banget. Masa sih kamu mau sama om om.”

Anne menoleh kesamping dengan keras. Rambutnya menyapu muka Aurora. “Kamu yang ngotot kalau dia cowok aku, aku sendiri merasa enggak. Jadi sebagai teman, ini pendapatku, ‘kamu kelihatan maksa banget’.”

Tapi apa benar aku menganggapnya sekedar orang yang menolongku waktu itu?


Anne gelisah. Tangannya mengganti baju sekolahnya dengan pakaian olahraga. Ia mengikat rambutnya sambil memandang kaca di lemari loker. Biasanya ia selalu berpikir untuk memotong rambutnya yang sudah panjang, tetapi kali ini pikirannya melayang ke antah berantah sampai tak sadar Aurora memperhatikannya sedari tadi. Tangannya tergolek di samping.

Tentu saja aku masih muda.

Anne menarik nafas panjang. Bayangan di bioskop waktu itu datang lagi. Ia berpikir, bagaimana bisa ia begitu mudah bersikap seperti itu pada orang yang baru dikenalnya. Anne mempertimbangkan pikirannya bahwa ia terpengaruh dengan kata gay. Seseorang seperti itu tak akan macam-macam dengan perempuan. Ia tidak suka horor karena penakut. Melandaskan kepalanya pada lengan Erick memberinya kenyamanan. Suara apapun yang masih didengarnya saat itu tidak seberapa berpengaruh pada pikirannya. Ia tahu ada Erick disana dan merasa kalaupun ada apa-apa, Erick tidak akan membiarkan itu terjadi.

Cukup, batin Anne lega. Ia memutuskan bahwa reaksinya hanya reaksi normal orang yang ketakutan dan mencari cara menghilangkan rasa takut itu. Tak ada hubungannya dengan romantisme. Tidak masuk akal Erick mencari-cari kesempatan pada dirinya dan tak ada alasan bagi Anne sendiri menyukai pria dengan orientasi seperti Erick.

“Aduh,” Anne menjerit. Bola basket dari Pak Burdin mengenai kepalanya.

“Kamu ngelamun apa, Anne?” Pak Burdin mengelap keringat di dahi.

Anne mengerjap-ngerjapkan matanya. Sinar matahari memaksa matanya menyempit lagi. Ia heran, tadinya ia merasa masih ada di depan loker, ruang ganti murid di sisi kiri gedung. Kenapa sekarang ia sudah terjengkang karena bola basket?

Matanya semakin lama menyesuaikan diri dengan luapan sinar matahari. Ia melihat Aurora menyodorkan tangan. Anne meraih telapak tangannya dan Aurora membantunya berdiri.

“Terima kasih.” Anne mengambil bola basket dan melemparkan kembali ke Pak Burdin.

“Sorry buat tadi pagi.” Aurora menemani Anne masuk ke ruang ganti. Pelajaran olahraga memang bukan minatnya. Apalagi sekarang Anne hanya diam. Biasanya Aurora selalu bercanda dengan Anne untuk mengusir kebosanan. Syukurlah, Aurora menarik nafas. Pelajaran olahraga tadi adalah yang terakhir bagi kelas 12. Setelah itu mereka akan mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir.

“Lupakan. Aku juga enggak menganggapnya masalah, kok.”

Jawaban Anne masih belum memuaskan. Ia merasa Anne masih terlihat lebih pendiam dari biasanya. Aurora beranjak pergi. Sebelum ia menutup pintu, tubuhnya berbalik.

“Oh, ya, tadi Adi bilang, ada rapat tentang acara kelulusan kita setelah pulang sekolah. Kamu diundang. Rapatnya di ruang persiapan aula utama.”

Anne melirik ruang yang dikatakan Aurora sepulang sekolah. Ia tidak seberapa minat mengikuti rapat ini. Malas harus berpikir ini itu. Kalaupun ia mengikuti acara perpisahan, ia hanya ingin duduk disana menikmati apa yang ada. Malas harus memeriksa jatah makanan, malas harus pesan tempat. Tapi Anne tahu, demi hubungan dengan teman-temannya, ia memaksakan diri untuk ikut.

“Hallo. Tumben udah dateng.” Rudy cengar-cengir. Rambutnya yang selalu acak-acakan tampak lebih amburadul.

“Mana yang lain? Katanya ada rapat.”

“Elu yang kecepatan. Bel pulang aja baru bunyi.” Rudy mengambil tempat duduk dekatnya. Anne pura-pura tidak tahu, jari-jaringya menggeser layar ponselnya.

“An?”

“Hemmm?”

“Kabarmu gimana?”

Anne tertawa dalam hati. Tiap hari ketemu di sekolah dan masih saja dia bertanya kabarmu bagaimana? Ciri-ciri salah tingkah. Wah jangan-jangan nih cowok. Anne mengernyitkan dahi dan melihat muka Rudy dengan cara yang tidak terlalu menyolok. Berlagak tidak sedang menilainya.

“Baik-baik aja.”

“Aku fotografer. Aku butuh model, kalau kamu mungkin mau jadi modelku—“

Anne tidak menyangka kata-kata Rudy tadi. Ia mendongak dan lupa untuk berpura-pura. Tetapi ia cepat-cepat mengganti raut mukanya. “Ada fee-nya?”

Rudy setengah bersemangat mendengar kata fee. “Ada sih, tapi cuma dikit.”

“Memangnya kamu butuh model foto buat apa?”

“Aku mengikuti lomba foto masyarakat urban. Kalau foto-fotonya cuma bangunan dan keadaan masyarakat biasa, aku pikir kurang catch eye. Jadi aku butuh model untuk mempermanis foto. Gitu deh. Misalnya, aku foto keadaan masyarakat pinggiran, pura-puranya kamu sedang jalan di dekat stasiun yang banyak orang-orang yang sedang mencari nafkah. Kamu adalah bentrokan antara orang kaya dan miskin.”

“Aku nggak kaya.”

“Ya, ampun, Ne. Ini cuma pura-puranya. Enggak sungguhan.”

“Aku dapet wardrobe?”

“Bukan dapet. Dipin..je..mi. Bangkrut dong kalau ngasih ke kamu semua.”

“Ogah, Ah. Dipinjemi berarti tadinya punya orang. Kalau aku kena panu, kadas, dan kurap bagaimana? Ada biaya pengobatan, nggak? Kalau enggak, ogah. Udah fee-nya dikit, habis gitu penyakitan lagi.”

Anne cekikan. Rudy keki dan tidak sempat berkata serius lagi ketika melihat Aurora dan teman-temannya yang lain sedang berjalan mendekati tempat mereka.

“Kamu pasti lagi mem-playboy Anne,” Pandangan Aurora menuduh pada Rudy.

Playboy? Yang ada aku mau dirampok.”

“Anne badannya kecil, kamu gede kayak gaban, masa Anne yang ngrampok? Kamu sehat?”

Cela-celaan antara Rudy dan Aurora ditengahi Gordon. Ketua OSIS berbadan besar itu masuk ke ruangan dengan membawa ubo rampe, rondo royal, singkong goreng, pisang goreng, tahu isi dan ote-ote. Rudy dan Aurora yang melihat itu langsung mencomot satu. Rudy bahkan mengamankan beberapa lombok ke dalam sakunya.

Tok…tok…tok… Gordon mengetukkan palu di tengah-tengah rapat. “Jadi kita setuju tempat kita di Hotel Valley Resort. Dana dari kas OSIS dan sumbangan teman-teman yang mau ikut. Terus untuk acara, kita serahkan pada Aurora and the gang.”

Seisi ruangan riuh bertepuk tangan, kecuali Anne. Sejak nama Valley Resort disebut, jantungnya berdetak kencang. Bukan karena membayangkan keindahan hotel itu, tetapi karena ia tahu bakal menjumpai Erick disana. Lagi.

Bagian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16

Sumber gambar: Marie-Laurie, weheartit.com

Ingatlah Hari Ini (Bagian 5) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar