Ingatlah Hari Ini (Bagian 3)


“Oh, ya. Menjawab pertanyaanmu tadi, aku mau bilang, aku tidak pernah pacaran. Orangtuaku melarangku pacaran sampai aku kuliah.”

“Kamu punya orangtua yang baik.”

“Tapi—aku ingin punya pacar.”

“Kenapa?” Erick meneguk minumannya dalam-dalam. Sebuah wajah melintas di pikirannya.

“Entahlah…mungkin pengin tahu rasanya.”

Erick memandang Anne. Pandangannya demikian tajam sampai Anne merasa ngeri. “Kalau kamu belum pernah pacaran, sudah pasti kamu belum pernah patah hati. Dan itu baik, kamu lebih bisa memikirkan sekolahmu. Nanti setelah selesai sekolah, kamu bisa melakukannya. Kalaupun kamu patah hati dan malas bekerja setelahnya, kamu bisa keluar dari tempat kerjamu sampai kamu bisa bekerja lagi. Itu tak akan terjadi kalau kamu masih sekolah. Kamu tidak mungkin di SMA sampai berkali-kali.”

Giliran Anne yang memandang tajam. Erick memundurkan badannya dan siap-siap mendengar seseorang marah, karena itulah yang ia rasakan ketika usianya di usia Anne. Tapi nafas Anne melambat lagi. Bola mata itu melembut.

“Katakan padaku, Rick? Apa yang menjamin bahwa aku bisa mendapatkan kekasih saat selesai sekolah? Itu suatu proses. Tidak bisa dipaksa. Jika seseorang menyatakan cintanya sekarang, belum tentu lima tahun lagi ia akan mengatakannya.”

“Berarti itu bukan jodohmu.”

“Bagaimana kamu tahu itu bukan jodohmu atau kamu sendiri yang menolak kesempatan yang datang? Tuhan bisa saja menentukan umur kamu menikah di umur 25, tetapi siapa yang bisa mencegah kamu menikah di umur 20-an. Kamu juga bisa saja ditakdirkan mati umur lima puluh, tetapi siapa yang enggak bisa membuatmu bunuh diri di umur sebelum itu? Man purpose God dispose. Kita dan Tuhan bekerja sama membentuk takdir.

”Tetanggaku ada yang sudah lama tidak punya anak. Dalam pandangan kita, mungkin saja kita menyebutnya takdir. Akhirnya dia pasrah, dan sudah tidak berusaha hamil lagi. Suatu ketika ia menolong pengemis yang ditabrak mobil. Kamu tahu—dua bulan kemudian istrinya hamil. Mungkin saja itu kebetulan. Tetapi menurutku Tuhan mengubah keputusannya karena ia menolong pengemis itu.”

Anne menangkap muka terkejut pada wajah Erick. Wajahnya yang tegang sedikit demi sedikit berubah. “Beberapa menit lalu aku menyesal menceritakan masalahku ke kamu, karena aku pikir aku sama saja dengan menceritakan pada anak-anak. Tapi beberapa detik kemudian, aku tahu aku berhadapan dengan wanita dewasa. Memangnya umur kamu berapa? Yakin masih usia SMA?”

“Duh, Erick. Jangan membuatku tertawa. Kadang aku merasa kamu terlalu sopan.” Anne tertawa. “Kalau aku serius, kamu jangan ikut-ikutan serius.”

“Ini aneh. Baru saja aku mau mengatakan kata-kata tadi, eh…sekarang malah kamu sendiri yang mengatakan itu ke aku.”

Erick dan Anne tertawa. “Ayo, kita habiskan makanan kita, setelah itu aku antar kamu pulang.”

“Aku masih ingin satu lagi kalau boleh?”

“Pesan saja.”

“Ini bukan makanan.”

“Lantas apa?”

“Tur melihat tempat-tempat yang bagus di hotel ini.”

“Terjadilah apa yang kamu inginkan.”

Mulut Anne menganga. Erick melihat Anne menangkupkan tangan di pipi ketika melihat kolam renang diatas bangunan hotel.

“Wooww. Ini bagus sekali, Rick. Apakah mereka bisa jatuh ke bawah hotel?” Matanya membelalak.

Anne melihat kolam renang itu penuh sebatas tembok. Luapan airnya bahkan jatuh melewati  tembok yang langsung berhubungan dengan dunia luar sehingga perenang seperti bisa jatuh ke bawah hotel. Dari kolam renang, perenang bisa menikmati alam lembah pegunungan.

“Tenang saja. Sangat aman. Kamu suka?”

Anne mengangguk.

“Aku berdoa, semoga suamimu kelak membawa bulan madumu kesini.”

Anne cepat-cepat menoleh pada Erick. Pria itu sulit mengartikan mata itu. Sebelum Erick sempat berpikir lain, Anne mengarahkan pandangannya lagi ke arah kolam renang tanpa berkata apa-apa.

***

Erick menyentuh lengan Anne. “Sudah sampai rumah.”

Anne mengucek-ucek mata dan menoleh. Tangannya hendak meraih pegangan pintu.

“Terima kasih buat hari ini, Anne. Kamu mungkin tidak tahu, betapa aku sangat menikmati pembicaraan kita tadi.”

Bibir Anne terangkat. “Sama-sama. Aku juga baru menemukan orang yang bisa aku ajak ngomong lebih serius. Aku tidak bisa ngomong begituan ke Papa Mama, pun juga enggak mungkin ke teman-temanku. Yang pertama akan bilang aku durhaka atau tidak sopan, yang kedua aku dibilang kayak nenek-nenek.”

Erick tertawa. “Apa mungkin kita ketemu lagi?”

“Kenapa tidak?”

“Kalau gitu aku pengin bilang, sampai ketemu lagi.”

Anne berbalik menuju pintu pagarnya setelah mobil Erick tidak terlihat lagi.

“Siapa itu, Ne?”

Anne berhenti bernafas sebentar. Badannya berbalik kearah rumah. “Teman, Pa.”

“Sepertinya dia pria dewasa.”

“Anne masuk dulu, Pa. Capek, pengin mandi.”

***

Telunjuk Erick mengetuk-ngetuk setengah gelas bourbon di dadanya. Kedua kakinya ditumpangkan pada kursi di depannya. Sinar lampu dibuatnya lebih temaram. Bayang-bayang foto hitam putih dalam frame semakin meredup di tembok depannya.

“Sorry, Doni. Sepertinya aku harus membuang fotomu. Bukannya bermaksud kasar. Tetapi semua ini harus berakhir. Aku tidak ingin kamu menjadi penjaraku. Perasaan ini sungguh tidak enak. Kamu bisa mengerti, kan? Kamu pasti tidak ingin melihatku gila. Aku cuma bahagia sekali saja.”

Erick mencoba mengingat-ngingat wajah salah satu pegawai wanitanya.

Dapat.

Gambar itu ia perbesar dalam batinnya. Rambutnya yang biasa diikat, coba ia buka. Sekarang geraian rambutnya bergerak jatuh bebas. Ia lantas menambahkan angin di depannya. Rambut itu tersapu ke belakang. Lesung pipit itu mengembang. Erick tidak suka eye shadow-nya, membuat matanya terlalu besar. Benaknya mencoba menghapusnya. Ia mempertimbangkan perasaannya. Apakah ia mulai menyukainya.

Tidak. Perasaan itu masih belum ada.

Pikiran-pikiran nakal mulai datang. Ia buka sedikit bagian depannya. Berapa ukurannya? 34B? 34A? Lupa. Ia memang tak pernah tahu, dan tidak perduli.

Perempuan. Salah satu ciptaan alam yang terindah. Lekuknya dipahat dengan seksama. Hatinya dibuat dengan kelenturan kapas. Nafasnya simfoni semesta. Tanpanya tak ada kehidupan yang tercipta lagi. Kehalusannya menyembunyikan kekuatan. Kelemahannya menidurkan sang perkasa.

Wahai perempuan, kenapa Perasaan itu masih belum ada. Beku. Jika memang rasa ini salah, kenapa mesti tercipta. Aku juga tidak menginginkannya. Tidak ada yang ingin hidup dalam bayangan seumur hidup.

Dipanggil ayah itu anugerah. Hadiah alam dari wanita yang merasa dicintai saat menciptanya. Namun mengapa tak satupun desir-desiran aneh menyeruak keinginanku yang paling primitif olehmu?

Erick takut, bahwa perasaan itu benar-benar hilang. Tapi ingatannya masih tajam, ia ingat dirinya tidak sebaik itu. Ia pernah ditugaskan di daerah terpencil. Hanya ada satu hotel di daerah itu. Baru saja ia memasuki kamarnya, telepon berdering.

“Butuh teman, Pak?”

Erick tertegun. Tapi tak lama. Ia segera mengetahui maksudnya.

“Berapa?”

“Bapak lihat barangnya dulu.”

Barang itu mau melakukan apa saja, namun Erick hanya menyuruhnya membuka kemasannya. Barang itu mengeliat-ngeliat di depannya sampai satu jam dan perasaan itu lagi-lagi tak pernah muncul.

Erick memberikan beberapa lembar kertas berwarna merah dengan bisikan, “Kamu bagus.”

Barang itu berlalu dengan pandangan bertanya. Ada rasa kecewa. Kecewa karena si penglihat tak menuntaskan seperti biasa.

Erick membuka matanya. Barang? Itu intinya. Selama ini jenis itu ia anggap barang. Mungkin mereka memang tidak membutuhkan cinta. Sapuan-sapuan permukaannya hanya pekerjaan. Tetapi hati selalulah mereka bawa. Disadari atau tidak, hati itu akan berbicara. Bukan lewat pikirannya, tetapi—

Ah, sudahlah. Kenapa masalah ini menjadi rumit seperti ini.

Waktu.

Ini yang aku butuhkan.

Bersambung...

Bagian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16

Sumber gambar: Marie-Laurie, weheartit.com

Ingatlah Hari Ini (Bagian 3) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar