Sahabat



Aku benci lihat rumput-rumput ini. Tinggi banget, sih. Padahal baru beberapa waktu lalu aku datang kesini bersama teman-temanku. Aku mencarimu. Tapi rumput-rumput itu menutupimu. Aku berdiskusi dengan teman-temanku.

“Kita suruh orang buat bantu kita nghabisin rumput-rumput ini.”

Teman-temanku mengangguk. Aku dan Yoga melayangkan kaki, merobohkan rumput, mencoba mencarimu.

“Aku yakin disini, Yog.”

Aku merasa bersalah. Aku yang menjadi penunjuk jalan agar mereka bisa menemukanmu. Tetapi aku tidak menyangka rumput-rumputnya menjadi setinggi seperti ini.

Yoga meringis, tangannya menyibak-nyibak rumput setinggi diriku. Tangannku terasa perih. Aku tidak mengira rumput-rumput punya sisi tajam. Guratannya memang hanya membuat semacam memar merah di sekujur lengan kami, tetapi rasanya benar-benar tidak nyaman.

Yoga berteriak.

“Ini. Disini.” Tangannya semakin cepat menyibak-nyibak rumput. Aku bergegas ke tempatnya. Dua orang yang kami suruh membantu, mendatangi kamu. Mereka memotong rumput dengan arit. Aku dan Yoga memberi petunjuk pada tempat-tempat yang sekiranya membuat kita dapat melihatmu.

Teman-teman wanita kita bangkit dari teduhan pohon Kamboja. Mereka bergegas mendatangimu. Binar diwajah mereka menyapu hawa yang menyengat. Aku yang biasanya sering berlatih lari dibawah terik, merasakan panas lebih hebat dari biasanya.Bahkan keringat kita langsung menguap.

Aku berpikir, apakah orang dalam keadaanmu sekarang merasakan hal yang sama. Bagaimana dengan malam nanti. Apa kamu kedinginan?

Sorry. Ini pertanyaan konyol. Mestinya aku tidak menanyakan. Suatu saat aku bakal merasakannya. Cepat atau lambat. Jadi buat apa juga kepo?

Itu beberapa waktu yang lalu. Sekarang aku sendiri disini. Dan rumput menyebalkan ini tumbuh lagi. Butuh waktu beberapa menit sampai aku melihat kamu lagi. Guratan-guratan namamu agak kusam. Mungkin sinar matahari dan air hujan beberapa waktu lalu membuatnya seperti itu.

Aku mengeluarkan sesuatu dari tas plastik. Merah, hijau, kuning. Seperti lagu anak-anak yang pernah kita dengar waktu kecil. Warna merah mengingatkan aku tentang masa kita masih bocah. Waktu kecil, di SD itu. Kita langsung keluar saat jam istirahat.

“Aku baca di buku. Kalau kita mau jadi saudara. Kita harus jadi saudara sedarah.”

Aku bingung mendengar kata-katamu. Kamu menjelaskan lebih lanjut.

“Kita keluarkan darah kita sedikit di jempol, terus kita satukan. Begini.” Kamu mengambil jempolku dan menyatukan dengan jempolmu. Kamu tidak melihat aku begitu ngeri membayangkan rasa sakit sebelum mengeluarkan cairan merah itu. Darah. Permintaanmu aneh-aneh aja. Kamu enggak tahu. Aku takut dengan darah. Waktu disuntik vaksin cacar kemarin aja aku sampai keluar keringat dingin. Apalagi sekarang—

“Kita pakai cutter.”

Rasanya aku pengin pingsan. Tetapi aku masih tegar berdiri.

“Nggak ada cara lain.”

Kamu menggeleng. Ya, udah. Kalau itu maumu. “Kapan?”

“Sekarang.” Tanganmu menuntunku ke belakang sekolah. Tempat itu sepi waktu itu. Di belakang sekolah kita tidak ada pagar. Air rawa membatasinya waktu hujan, dan ilalang menyembunyikan belakang sekolah kita waktu kemarau.

Sreeet..kamu mengeluarkan cutter. Aku memejamkan mata.

“Udah.” Katamu


Aku melihat darah di jempolku. Kamu mengangkat tanganmu, seperti gambar like facebook. Kita menempelkan jari tangan.

“Dengan ini, kita jadi saudara sedarah. Apapun yang terjadi pada kita, kita bakalan akan ngerasain juga.”

Aku termangu pada kejadian belasan tahun itu. Aku tidak mengira bahwa tingkah anehmu menjadikan aku terpenjara. Aku benar-benar merasakan apa yang kamu rasakan. Aku marah ketika kamu marah. Aku terhina, ketika seseorang juga menghinamu. Ini kebetulan? Entahlah, tetapi perasaan itu datang dengan sendirinya. Di awal-awal aku kuliah, acara TV banyak dipadati dengan acara berbau hipnotis. Aku lantas berpikir, bahwa kejadian belasan tahun itu seperti sugesti di alam bawah sadarku. Sekarang aku sudah tidak perduli lagi.

Aku menjatuhkan perlahan-lahan benda-benda berwarna tadi. Setiap titik akhir jatuhnya, menyelimutimu. Sayang, selimut itu tak abadi. Pada akhirnya akan menjadi coklat, dan terurai oleh tanah. Selimutmu akan musnah. Sinar matahari dan hujan kembali meresap di setiap porimu.

Aku berdiri. Mataku tertumbuk pada guratan tadi. Sampai kapan tulisan tadi masih terbaca? Sekarang kamu baru disini, semua orang masih mengingatmu. Tetapi bagaimana beberapa tahun kedepan. Semua pasti sibuk dengan keluarga masing-masing. Hutang. Iuran sekolah. Penyakit rematik kita. Oppps. Mudah-mudah aku masih sehat.

Aku pasti tahu rasanya, jika aku dalam keadaan sepertimu.

Ketika tidur hanyalah pekerjaan kita sambil menghitung waktu.

Ketika permohonan dari orang lain untuk kebaikan kita yang ingin kita dengar.

Ketika kita tidak bisa apa-apa lagi selain mengemis kebaikan orang agar mereka terus-terusan memohon, agar Sang Pengabul akhirnya mendengar mereka.

Good bye, friend. Sampai ketemu lagi. Semoga saat itu tiba, kita punya sayap agar kita bisa terbang. Agar kita bisa terbang bersama anak burung yang jatuh dan pernah kita tolong dari serbuan semut.

Uppsh..sorry.. aku lebay lagi. Enggak enak punya pribadi seperti ini. Pribadi yang menjadi bahan ejekan orang. Sekali lagi, ini mengingatkan aku ketika kamu membelaku. Mereka mengatakan aku cemen karena tidak mau makan daging anjing yang mereka pukul kepalanya dan mereka panggang.

Kamu tahu, itu aku lakukan karena aku menghargai persahabatan. Bagaimana bisa mereka memakan anjing yang mereka pelihara? Bukankah itu seharusnya mereka sayangi.

Udahlah. Aku harus pergi. Semakin lama aku disini, semakin lebay aku. Orang-orang diseberang sana mulai curiga aku gila karena terlalu lama duduk dekatmu dan diam. Andai saja kamu juga duduk bersamaku seperti ini, mereka tidak terlalu curiga. Tapi aku tahu, kamu tidak bisa melakukannya.

Tidurlah, teman. Tidur saja. Kita bisa memakai bahasa sepi.

Bahasa tanpa kata, titik, dan tanda baca.

Bahasa yang hanya dimengerti oleh jiwa-jiwa merindu semacam kita.

Orang banyak mengatakan aku tidak bisa move on. That’s okay. Emangnya gue pikirin.

Salah seorang teman kita bilang aku lebay. Suka-sukalah, dia boleh mengatakan apa saja. Ini negara merdeka, kan? Berpendapat tentang seseorang bukan tindakan kriminal, asalkan tidak bully aja.

Mereka bisa mengatakan itu semua, karena mereka tidak pernah mempunyai sahabat sepertimu.

Sumber gambar: clipart-library.com

Sahabat Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar