Mama

“Ma, kenapa Nana tidak punya oma?”

Sarah berpaling dari sinetron TV. Sudut matanya melihat suaminya, tetapi Gondo masih asyik mengunyah donat kentang buatannya. Ia tahu, Gondo bukannya tidak mendengar suara anaknya, suaminya itu hanya tidak ingin membuat Sarah marah.

Tangannya membelai-belai kepala Nana. Bukan kebiasaannya tidak menjawab pertanyaan Nana. Sebagai psikolog, dia belajar untuk membantu kecerdasan seorang anak dengan selalu mencoba memenuhi keingintahuan mereka, tetapi sungguh, pertanyaan Sarah bukan pertanyaan mudah baginya.

“Jam berapa kamu pulang? Kamu jadi lonte, ya? Kamu pikir mamamu itu babumu? Baby sitter?” Mama mengambil gitar dari punggungnya dengan paksa. Beberapa menit kemudian, gitar yang baru saja di-tuning oleh teman Sarah itu pecah dibanting. Tepat di depan mukanya. Mulut Sarah hampir saja mengatakan kalau dia baru saja latihan teater untuk drama tiga kota. Malam ini adalah latihan terakhir

Sarah sekuat tenaga menahan airmatanya. Cara utama untuk melawan mamanya adalah dengan tidak menampakkan kelemahan. Baru saja mulutnya hendak mengeluarkan suara. Pintu rumah dibanting. Sarah membuka memutar-mutar pembuka pintu. Sampai pergelangan tangannya sakit, pembuka pintu itu tidak mau bergerak.

“Ma, buka, Ma. Sarah Cuma latihan teater.”

“Kamu masih dendam?”

Sarah tidak menjawab, ia memunggungi Gondo. Tangannya rapat-rapat menyegel selimut, melawan hawa AC yang menggila.

“Tidak, Mas. Aku bisa mengerti kenapa Mama seperti itu.”

“Tetapi kenapa kamu tidak menjenguk mamamu?”

“Entahlah. Mungkin aku butuh sedikit waktu.”

Gondo melingkarkan lengannya, ditariknya tubuh Sarah lebih dekat, suatu cara yang sering dilakukannya agar dadanya dapat merasakan getaran tubuh Sarah. Gondo sudah lama mempelajarinya agar mengetahui emosi Sarah.

Gedoran Sarah semakin keras, tetapi tak ada tanda-tanda seseorang akan membukakan pintu. Sarah merapatkan jaket. Kepalanya berpikir keras bagaimana tidur malam ini. Hawa jam sebelas malam terlalu lembab, ia tidak ingin paru-parunya berisi air.

Sarah keluar dari pintu pagar. Kepalanya melongok tanah kosong di samping rumahnya. Masih ada sisa-sisa rawa yang mendahului tinggal sebelum komplek perumahannya dibangun. Tubuhnya bergidik membayangkan apa saja yang ada di kegelapan sana, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Jika ia tidur di depan rumah, tetangga-tetangga usil akan mengetahui masalahnya dengan mama. Belum lagi kalau ada mobil lewat, berabe. Anjing temannya pernah mati gara-gara terlindas ketika tidur di depan rumah.

Sarah menginjakkan kaki perlahan. Hatinya sedikit terhibur melihat beberapa timbunan tanah memadati bekas rawa. Tetangga dekatnya beberapa waktu lalu membangun rumah. Sisa-sisa temboknya dibuang di sini. Telunjuknya menyesap cairan hangat di matanya. Lumayan, meskipun hanya ujung telunjuknya yang terasa hangat ketika punggungnya mulai membiasakan diri dengan kerasnya tanah.

“Aku pengin jenguk Mama, Mas.”

Gondo merasa lega. Ia memang menginginkan Sarah berdamai dengan mamanya. Ia segera mempersiapkan Nana. Gadis kecil itu tampak senang ketika mengetahui akan menemui Oma-nya untuk pertama kali.

“Oma cantik seperti Nana, Pa?”

Gondo menyisir rambut Nana. Gerakan-gerakan tubuh Nana membuatnya berkali-kali merapikan rambut Nana sebelum membentuk dua ekor kuda dengan pita di ujungnya, kesukaan Nana.

“Oma kenal Nana, kan, Pa?”

Gondo memeluk Nana, dan mencium ubun-ubinnya. “Tentu sayang. Kamu mirip Oma. Oma pasti tahu kamu siapa.”
 
Lelehan air matanya mengalir deras. Matanya terpejam. Kedua tangannya masuk kantong jaket. Ia mengerti, mama frustasi. Cuma hal itu yang membuatnya bertahan di rumah ini.

“Papa meninggalkan Mama waktu hamil kamu tujuh bulan,” cerita Mama saat itu. “Mama hampir mati karena Papa menendang perut Mama. Darah keluar dari sini.” Mama menunjuk bawah perutnya.

Sarah merasa ngeri. Bayangan pernikahan seketika menjadi bayangan buruk. Bukan bunga.Bukan juga senyum dari pacarnya, Gondo. Tetapi ada sesuatu yang mengeliat di dalam perutnya dan memakannya dari dalam. Ia sakit tetapi tidak sanggup meredahkan. Meskipun itu perut Mama, tetapi rasa sakit akibat tendangan Papa dirasakannya juga.

Sarah memegang tangan mamanya. Ia mencoba agar mata mama kering.


Gondo memegang tangan Sarah. Matanya sesekali berganti arah dari kaca depan mobil dan pada Sarah di kursi sampingnya. Dada Sarah bergolak. Antara sayang dan jengkel bertarung sejak kakinya menapaki mobil Gondo.

Ia sengaja turun lambat-lambat dari mobil. Sebagian karena keengganan yang dilawannya. Sisanya karena ia sendiri ingin mempersiapkan dirinya sendiri. Apa yang mau dikatakan? Maaf? Berpegangan tangan? Atau sekedar menatap mata? Pengalamannya di teater sama sekali tidak membantunya menciptakan drama yang diinginkannya. Nana akan melihatnya, gadis kecilnya tidak boleh belajar menjadi pembenci. Sarah takut itu akan mempengaruhinya kala anak itu dewasa.

Suster jaga mengajak mereka berdua masuk. Lorong-lorong yang dilewatinya seperti lorong-lorong waktu. Sedikit demi sedikit, usianya mundur. Suara-suara itu kembali terdengar. Suara mamanya. Jeritannya agar mamanya membuka pintu.

Suster menunjuk pada kursi roda di ujung ruangan. Wanita tua itu duduk membelakanginya. Kepalanya selurus pandangannya yang melewati jendela. Sinar-sinar terang dari jendela mengungkap warna putih pada rambutnya. Beberapa orangtua yang lain tampak tidak mengusiknya, meskipun si oma cerewet berbaju daster sedang menyanyi-nyanyi lagu yang syairnya tidak dikenali oleh Sarah. Si Opa yang duduk di dekat wastafel malah berjingkrak-jingkrak mengikuti irama si oma cerewet. Semuanya seperti mempunyai dunianya sendiri-sendiri. Dunia milik mereka yang tak dapat diganggu gugat.

“Ma?” Sarah berhasil mengeluarkan suara setelah menelan ludahnya.

Nana tak sabar melihat omanya untuk pertama kali. Ia memutari kursi roda. Ia berhenti dengan wajah pucat. Sarah mengikuti Nana. Ia sendiri tertegun. Tidak ada tanda-tanda tubuh yang tinggi besar dengan lengan yang kuat. Rambutnya tipis. Bekas kemoterapi masih nampak. Kulitnya layu. Matanya terpaku pada pandangan diluar ruangan.

Sarah sudah lupa untuk bersandiwara. Gemuruh dadanya lebih kuat meronta. Membuatnya lemas dan jatuh bersimpuh di depannya. Tangannya meraih lembut tangan itu. Tonjolan-tonjolan otot membentuk permukaan kulit lengannya. Lengan yang membimbingnya dan juga mengunci pintu agar dirinya tidak dapat masuk rumah. Ujung jari yang membimbingnya untuk menyusu, juga yang pernah menamparnya.

Diangkatnya dagunya sendiri. Wanita tua itu bergeming. Sarah ingin kembali merasakan dada itu. Tempat persembunyiannya terhadap hawa dingin. Tempat persiapannya mulai berjalan dan mengenal dot.

Sarah lelah mencari alasan membenci mamanya. Apapun yang dilakukan mamanya adalah timbunan rasa frustrasi terhadap dirinya sendiri dan marahnya pada laki-laki yang berjanji mencintainya sampai akhir hayat. Mama sudah tidak punya orangtua, tak ada gelas yang menampung kepenuhan rasa lelahnya.

Sarah sesenggukkan ketika sesuatu meliputi tubuhnya. Menghangatkannya. Ia mengenalinya sebagai rahim, tempat tubuhnya ditenun. Satu-persatu terpasang pada tempatnya. Air matanya mulai bersumber dan tertapung di wadahnya. Nantinya, Sembilan bulan kedepan, ia akan menggunakannya sebagai tanda kehadirannya di dunia, sambil berteriak keras-keras.

Cukup lama sampai Gondo dan Nana mendengar, “Ma, ini aku, Sarah.”

Sumber gambar: pinterest.com

Mama Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar