Terima Kasih Ardilla (Bagian 2)



Catatan Penulis:
Cerbung ini saya persembahkan untuk SEBUAH NAMA yang meninggal karena penyakit maag akut. Semoga kamu bahagia disana. Kamu sudah tidak merasakan sakit lagi.

"Ardilla." Ia mencoba mencuri perhatian Ardilla. "Oke aku akui aku terlalu ego. Kasar. Maafkan aku. Tapi jujur. Aku benar-benar tidak tahu apa yang kamu maksud 'Dengan cuek terhadap orang yang perhatian ke aku'." Dia menoleh ke arah Ardilla. "Emangnya siapa orang itu?"

Tetap dengan membaca buku Ardilla menjawab, "Memangnya kamu tidak merasa ada seorang cewek disini yang curi-curi perhatianmu?"

"Maksudmu Ella?"

"Ya. Ella Sanjaya."

"Aku penasaran. Kenapa kamu begitu perhatian dengan Ella. Aku lihat sendiri ketika Ella kemari dia tidak berbicara sepatah katapun ke kamu."

Ardilla menggoyang-goyangkan jari telunjuknya. "Eiit. Ingat. Ini bukan tentang aku, tapi tentang kamu dan Ella."

"Ceritanya kamu pengin jadi mak comblang nih."

"Bukan mak comblang. Tapi cuma ga pengin kalian berdua menyesali kebodohan kalian di masa depan. Kalian tuh saling suka, tapi masih malu-malu."

"Kok kamu yakin klo aku suka ama Ella?"

Ardilla membanting bukunya ke meja. Tampak sekali ia kesal dengan Andika. Dia menatap tajam ke belahan mata Andika. Pandangan Ardilla sungguh menusuk dan mengandung perintah.

Andika memalingkan muka. Dengan mengangkat kedua tangannya ia berkata."Oke. Oke aku akui aku memang suka Ella."

Ada senyum kecil di ujung mulut Ardilla. "Gitu dong. Ngomong kayak gitu aja sudah setengah kampret. Sekarang kamu pasti udah tahu langkah berikutnya."

Andika bloon. "Emang apa?"

Ardilla memukulkan bukunya ke kepala Andika. "Aku pikir besar kepalamu sesuai dengan besar otakmu. Kayaknya ga banget."

Andika meringis kesakitan. Tangannya mengusap-usap kepala. "Ya. Ya aku tahu. Aku tadi kan cuma bercanda."

Gadis itu melotot. "Tahu apa?"

"Kamu pengin klo aku ngomong suka sama Ella, kan?"

"Sekarang aku percaya kamu cerdas."

“Tapi apa enggak terlalu cepat? Aku baru kenal dia, masa udah langsung nembak?”

“Kalau sudah pasti kalian suka, nunggu apa lagi?”

“Entar dipikir aku cowok gampangan.”

“Duh, ternyata kamu lebih cerewet dari cewek. Dengerin, ya. Cewek itu enggak akan ngomong kayak gitu kalau dianya suka.”

“Aku jadi penasaran, darimana kamu tahu banget kalau aku dan Ella sama-sama suka?”

“Aku bisa lihat dari hati kalian?”

“Apa?” Andika ternganga seperti kepedasan. Dalam beberapa detik ia dapat menguasai dirinya lagi. “Sekarang aku tahu kenapa tidak banyak anak-anak sini bergaul ama kamu. Mereka pasti takut hati mereka dibaca sama kamu.”

Ardilla mengerling. Bola matanya serasa berbicara sesuatu yang mendalam. Andika tidak tahu apa itu. Ia bergegas meninggalkan Ardilla.

***

Suara bel sekolah yang menyenangkan, bel pulang, berbunyi. Cepat-cepat Andika memasukkan buku catatannya ke tas. Hatinya ragu ketika melihat— melalui sudut matanya—ke arah Ella. Ardilla menepuk punggungnya dua kali. Andika menoleh. Gadis itu tidak bersuara, tapi lewat pandangan matanya Andika tahu maksud Ardilla.

"Hai." Sapa Andika, kikuk. Biasanya dia dulu yang disapa cewek.

Ella menoleh dan agak terkejut. "Ei, ya."

"Kamu tahu kan. Aku masih baru di Surabaya. Kalau enggak keberatan...Kamu bisa antar aku jalan-jalan di Surabaya?"

"Maaf. Klo siang ini ga bisa. Pasti ga diinjinkan mama...Entar sore ya?"

"Ok. Jam setengah tujuh teng. Dan supaya aku tahu harus jemput kamu

dimana sore nanti. Gimana klo sekarang aku antarin kamu pulang?"

"Kamu antarin aku pulang?" Ella tidak percaya dengan telinganya.

"Iya. Mau?"

Ella menganggukkan kepala.

Jam lima sore, Ella sudah berada di depan kacanya. Dia tidak bisa tidur tadi siang. Rasa bahagianya begitu penuh. Andai hati bisa pecah, maka isi hatinya pasti memenuhi kamarnya saat itu. Mamanya yang sedang bersih-bersih heran. Tidak biasanya putri tunggalnya ini sore-sore sudah dandan rapi. Wangi lagi. Mama Ella awalnya mencoba menahan diri untuk tidak berkomentar. Tapi lama-kelamaan gatal juga.

"Mau kemana El. Tumben udah rapi."

"Mau pergi ama temen."

"Temen cowok apa cewek ?" Ella tersenyum. "Entar mama juga tahu. Anaknya mau jemput kesini."

Mama Ella berdehem. "Kalau gitu mama sudah tahu. Pasti cowok."

Ella kembali menyisir rambutnya sambil tersenyum karenanya mamanya menyidirnya dengan lagu, "Jatuh cinta berjuta rasanya......"

Kurang lima belas menit dari waktu yang dijanjikan, Andika sudah memarkir motornya di depan rumah Ella. Andika baru saja akan membuka pintu pagar ketika tiba-tiba dia merasa hawa dingin melewatinya. Dengan cepat ia menoleh ke belakang, takut kalau-kalau ada tukang jualan yang tiba-tiba lewat di belakangnya dan menabraknya. Tapi ia tidak melihat apa-apa. Disebelah kanannya agak jauh, ia cuma melihat beberapa anak-anak usia SD sedang bermain-main bersama teman-temannya. Sementara di sebelah kirinya cuma ada beberapa ibu-ibu mengobrol.

"Ah mungkin aku melamun." Pikirnya. Ia kembali menapaki jalan kecil menuju pintu rumah Ella.

Begitu mendengar suara sepeda motor di depan rumahnya, mama Ella bergegas ke dapur. Ia ingin tahu bagaimana wajah cowok Ella dengan mengintip dari kelambu dapur yang dibuka sedikit.

Ella membuka pintu dengan riang. Rambutnya yang hitam kelam dibiarkan tergerai. Sementara sebuah bandana merah muda membatasi rambut belakang dan depan. Celana blue jeans dipadu dengan kaos putih berlengan panjang.

Andika duduk, Ella pamit ke belakang sebentar untuk membuatkan minuman. Di pintu dapur ia berpapasan dengan mamanya.

"Cakep El," goda mamanya. "Badannya gede lagi."

Ella menepiskan tangan mamanya dan berjalan menuju meja.

"Minum dulu Dika." Ella berbasa-basi menawarkan minuman yang sudah dibuatnya. "Tunggu papa pulang dulu, ya. Baru kita berangkat."

Andika mengangguk kemudian meneguk sedikit minuman yang dibuat Ella.

Matanya melihat kesana kemari untuk memastikan tidak ada orang disitu.

"El?"

"Emh. Ada apa? Kok serius banget? Kayak mau wawancara."

"Aku suka ama kamu."

Ella tertawa geli dalam hati. Ia tahu Andika akan mengatakan cinta kepadanya. Tapi ia tidak menduga Dika akan mengatakan secepat ini.

"Kamu tuh orangnya ga pernah basa basi ya. Langsung tembak. Enggak seru."

"Habis kamu sih, suruh aku nunggu papa kamu. Entar keburu malem. Jadi sebelum papamu datang aku buru-buru ngomong."

"Kalau sekarang kemaleman kan bisa besok."

"Itu dengan catatan tidak ada cowok yang nembak kamu besok. Kalau ada aku terlambat dong."

Ella mau tertawa keras tetapi mencoba menahannya, ia mengambil bantal kursi. Menelungkupkan wajahnya di bantal kursi untuk menyembunyikan mulutnya yang tertawa. Sewaktu dirasakannya rasa gelinya mereda. Ia mengubah wajahnya menjadi serius. Ella takut Dika tersinggung.

"Sebelum aku menjawab. Aku pengin satu kepastian dari kamu."

"Apa itu?" Andika tiba-tiba serius.

"Kenapa kamu suka ama aku? Jujur ya?"

"Aku belum pernah punya cewek sebelumnya. Aku tidak pernah merasa apa-apa ketika dekat dengan mereka. Tapi dengan kamu, aku bisa malu, keki, penasaran. Dan ini yang utama bagiku: Aku bisa bahagia ketika dekat dengan kamu, sesuatu yang belum pernah aku alami ketika berdekatan dengan cewek manapun." Ella kali ini diam. Kata-kata Andika terlalu serius. Terlalu tidak diduganya. Lama Ella bermain-main dengan pikirannya sendiri. Sekarang giliran dia untuk menjawab.

Bersambung ke Bagian 3

Sebelumnya: Bagian 1
Sumber gambar: boredpanda.com

Terima Kasih Ardilla (Bagian 2) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar