Pelabuhan Hati (Bagian 2)


“Jadi ini rumah Om?” Floriana melihat langit-langit rumah. Tidak setinggi rumahnya, tetapi rasanya lebih tinggi dari rumah pada umumnya.

“Kenapa?” Rommy turut melihat ke arah langit-langit. “Ada cecak lagi kawin?”

Floriana tertawa terpingkal-pingkal. Rommy kembali memberikan instruksi pada anak buahnya. Bergelas-gelas berisi krim putih terlihat di meja. Seseorang menuangkan menuangkan sesuatu diatasnya, kemudian memberikan potongan-potongan buah setelahnya.

“Ini apa?”

“Yoghurt. Ya ini bisnisku. Sebagian dijual online, sebagian dititipkan di mall-mall, sekolah-sekolah , dan ada juga yang pesanan katering-katering. Pokoknya siapa saja deh yang mau bayar.” Rommy menceritakan bisnisnya. Sepanjang waktu Flori manggut-manggut.

“Kalau Om begini terus tiap hari, kenapa Om masih sempat mancing.”

Rommy melirik anak buahnya yang tertawa sembunyi-sembunyi.

“Sebenarnya saya tidak perlu memberi petunjuk pada mereka. Kami sudah punya standar operasional, jadi tinggal menjalani sistem aja. Saya sok aksi begini supaya kamu tahu kalau saya punya kerjaan.”

“Ah, Om.” Floriana mulai merasa Rommy berbicara tidak serius.

“Ayo sekarang kita ngemil yoghurt.” Rommy mengambil dua gelas yoghurt dan membimbingnya ke taman belakang.

“Ini tempat sakral. Tidak ada karyawanku yang kesini kalau enggak aku ijinkan.”

“Tempat merenung.”

“Yeup. Merenung segala hal. Dari masalah bisnis sampai masalah kehidupan.”

Floriana celingak-celinguk. “Kok saya tidak lihat Nyonya Rommy?”

“Karena dia memang belum pernah ada.”

“Emangnya Om umur berapa kok belum kawin.”

“Duh kamu tuh ya, kepo banget. Saya sudah cerita banyak tentang saya, sekarang kamu cerita tentang diri kamu.”

Floriana mendesah. Kedua telapak tangannya saling mencengkeram erat. “Saya enggak punya cerita bagus.”

“Bagus atau enggak biar saya yang putuskan. Sekarang cerita saja. Misalnya kamu berapa bersaudara. Orangtua kamu kerja apa. Ya pokoknya seperti itu.”

Floriana membuang muka ke arah lain. Samar-samar Rommy melihat badan Floriana seperti bergetar. Ada sesuatu yang bergemuruh di dalam batinnya, duga Rommy, namun Rommy pura-pura tidak mengetahuinya. Ia sibuk menyendok krim yoghurt pelan-pelan. Setiap kali sendok itu mampir di mulut, matanya melirik ke arah Floriana.

“Udahlah. Kalau enggak mau cerita gak pa pa. Santai aja. Ini rumahku, bukan pengadilan tinggi.”

“Aku tinggal sama mama. Papaku enggak tahu dimana.”

“Meninggal?”

“Sejak kecil aku tidak pernah tahu wajah Papa. Mama juga tidak pernah cerita. Waktu aku tanya, mama hampir menamparku. Mungkin saja—mama juga tidak tahu papaku siapa.”

Rommy meletakkan telapak tangannya di atas telapak tangan Floriana. “Enggak usah dilanjutkan. Maaf, saya tidak tahu—“

“Om? Bisakah kita tidak memakai kata ganti saya?”

“Jika itu maumu. Kamu boleh panggil aku Rommy.”

Floriana menggeleng. “Aku lebih suka panggil kamu Kak. Gimana?”

“Jadi sekarang kamu adikku?—Oke. Nah, sekarang kita habiskan Minggu ini senang-senang aja. Enggak usah pikirin masalah tadi. Hidup kita terlalu singkat buat susah.”

***

“Cukup, Dina. Yang dulu-dulu belum kamu bayar. Itu pun belum tentu bisa kamu bayar. Kalau kamu hutang lagi, kamu bayar pake apa?”

“Ayolah, Jon. Sebentar lagi aku dapet dari suamiku. Jumlahnya pasti cukup buat bayar hutangku.”

“Suami? Maksudmu Om yang jadikan kamu simpanan. Memangnya kamu yakin dia balik? Tubuhmu sudah bau bangkai. Cuma cacing tanah yang mau sama badanmu.”

Dina memegang lebih erat lengan pria di depannya. “Jika itu tidak cukup. Aku masih bisa menggadaikan rumah ini. Harganya pasti mahal.”

Pria yang dipanggil Jon memandang keadaan ruang di sekitarnya. “Sertifikatnya atas namamu?”

Dina diam dan menunduk.

“Bodoh.”

Dina berlutut di depan Jon, berharap pria itu mengubah keputusannya. “Jon, aku butuh sekarang. Tolong beri aku. Aku mati kalau enggak pakai.”

“Bodoh. Mati enggak mati itu urusan kamu. Kenapa juga kamu kecanduan.”

Jon dan Dina serentak melihat ke arah suara seseorang berlari menaiki tangga. Jon melepas kacamatanya. Kakinya yang jenjang. Rambutnya yang berkibar. Matanya yang menunduk membuat mulutnya tertarik ke atas.

“Cantik juga. Anak kamu?”

Dina bangkit perlahan. Pandangannya bergantian dari Jon ke seseorang yang menaiki tangga tadi.

“Iya, Jon.”

Jon mendekatkan bibirnya ke telinga Dina. “Begini saja. Hutangmu aku anggap lunas. Bahkan aku tambah satu gram. Tapi—“

Senyum Jon membuat dada Dina bergetar.

“Aku pinjam anakmu sebentar saja. Gimana?”

Geliginya bergemeletuk. Dahinya berkerut keras. Jon melihat setitik air menggelinding dari pelipisnya.

“Kalau kamu enggak dapet barangnya sekarang. Badanmu akan terasa seperti ditusuk jarum. Kepalamu pening. Rasa panas menjalar di seluruh badanmu. Kamu menggelepar seperti ikan kehabisan air. Dan—mungkin besok kamu masih hidup atau sudah—” tawa Jon membuat telinga Dina berdenging.

“Dia masih kecil Jon. Baru mau tujuh belas.”

“Wah, bagus itu. Berarti perawan dong.”

“Jangan Jon,” Dina mengiba.

“Terserah kamu. Yang butuh kamu bukan aku.” Tangan Jon mengacak-acak rambut Dina. “Pantas kamu cuma jadi anjing cukong. Kalau kamu sedikit kreatif, anakmu bisa jadi tambang emas. Kamu bisa beli barangku enggak pake hutang. Kamu tahu harga perawan?—pasti enggak tahu.”

Jon berbalik hendak menuju pintu. Tangannya merogoh saku di jaket dalamnya. Diletakkannya plastik dengan bubuk putih di meja. “Ini uang muka. Free of charge. Besok kamu boleh minta lagi.”

Tawa Jon adalah hal yang didengarnya terakhir kali sebelum pintu dibanting.

***

Rommy melirik jembatan di seberangnya. Beberapa hari ini jembatan tadi adalah awal sesosok gadis tampak. Tas ransel di punggungnya bergemerincing memberinya tanda kalau gadis itu mendekatinya. Wajahnya riang. Suaran kayu selalu berderit jika kakinya menjejak kayu-kayu lantai gazebo. Sapanya yang biasa, “Hallo Om”, selalu membuatnya merasa lain. Ia pun menawarkan hal yang sederhana. Sekotak roti berselai stroberi atau nasi goreng buatannya sendiri.

“Meta. Kamu seperti Meta,” bisiknya pada dirinya sendiri. Meta gadis kecil yang selalu diboncengnya memakai sepeda sewaktu SD. Rambut keritingnya selalu menjadi sasaran jahil teman-temannya. Tetapi para pengganggu itu selalu ketakutan jika ia datang dengan sepedanya.Wajah Meta yang ketakutan berubah perlahan menjadi riang. Lesung pipitnya seperti tanda kalau hatinya sedang senang.

Meta selalu yang ada di pikirannya. Sampai sebuah truk menabraknya ketika menunggunya di tepi jalan. Mamanya pingsan berkali-kali ketika jenasahnya sampai di rumah. Rommy mengurung diri. Matanya bengkak ketika duduk di sudut kamar. Hanya satu yang diingatnya di akhir cerita itu, papanya menggendongnya ke rumah sakit.

Papanya meninggal dua bulan kemudian. Dokter tidak dapat mengatakan papa sakit apa. Semua hasil pemeriksaan negatif. Papanya tidak sakit apa-apa. Mamanya menjual rumah mereka dan pindah ke rumah nenek. Dan mamanya meninggal pada peringatan seribu hari kematian ayahnya.

Rommy mengusap-usap matanya dengan punggung tangan. Sekali lagi kepalanya berputar ke arah jembatan, kemudian berganti ke arah gedung abu-abu berjarak cuma belasan meter darinya. Tak ada gadis itu. Tak ada Floriana? Kemana dia? Marah? Tapi Rommy tak ingat membuat gadis itu marah. Atau apa karena pertanyaannya tentang hal pribadi itu?

Bersambung ke Bagian 3, Bagian 4, Bagian 5, Bagian 6 , Bag 7, Bag 8, Bag 9

Sebelumnya: Bagian 1

Sumber gambar: pinterest.com

Pelabuhan Hati (Bagian 2) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar