Wati



Aku membuka album lama. Bukan berbentuk fisik, tetapi di dalam pikiranku. Semua ini gara-gara salah seorang temanku menulis di WhatsApp bagaimana ia mengganggu salah seorang teman kami, Wati. Sosoknya tidak pernah kuingat, padahal ia temanku ketika sekolah dasar. Aku juga tidak pernah menggambarkannya dalam cerita-cerita masa kecilku sebelumnya. Entahlah, apakah yang kupikirkan ini benar, tetapi tampaknya semua orang melupakannya.

Ia tinggi, seingatku lebih tinggi dari aku. Kurus. Rambutnya potong pendek. Bukan potong pendek model wanita. Tetapi bayangkan saja begini. Rambut tipis menutupi kepala yang bundar dan ubahlah bayangan tadi dengan keriting kecil. Wajahnya….hemm. Seingatku berjerawat disana-sini. Cukup bongsor untuk ukuran anak SD waktu itu. Diamnya. Pasrahnya. Tak berdayanya menjadi sasaran empuk bully.

Sudah sejak lama aku mencarinya, apalagi sebentar lagi angkatan SD-ku akan mengadakan reuni sejak dua puluh delapan tahun lalu kami lulus SD. Sayang, masih belum ada jejak. Aku mengambil biola, mencoba memainkan lagu, cara ini biasa aku lakukan jika ingin menggali ingatan-ingatan yang mungkin sudah terkubur lama di benakku.

Desaku yang kucinta, pujaan hatiku, tempat……

***

“Siapa itu?” Doni garuk-garuk kepala. Matanya tidak lepas melihat gadis tinggi kurus di depan bangkunya.

Riska yang sedang bercanda dengan Haryo turut menoleh.

“Oh. Itu Wati. Kakak kelas kita, tetapi tidak naik kelas.”

“Banyak banget anak SD sini yang gak naik. Jadi gak asyik temenan sama mereka.” Irsyad menggerutu.

“Emangnya kenapa? Kita aja yang belum kenal mereka. Tak kenal maka tak sayang.”

Irsyad tambah senewen mendengar sergahan Riska. Tapi ia diam saja. Riska temen dekat Doni, anak paling pintar kesayangan guru mereka, mengganggu Riska sama saja mengganggu Doni dan jika Doni melapor ke guru, berabelah nasib. Paling sial jika dilaporkan ke orangtua. Benaknya dipenuhi pikiran-pikiran tak menyenangkan. Biasanya Guru akan mengacak tempat duduk mereka. Kadang dapat yang laki-laki, kadang dapat perempuan. Nah, ini yang enggak asyik. Kalau yang duduk dengan Wati adalah—duh, membayangkan saja sudah amsyong.

Benar saja, muka Irsyad menghitam. Ia harus duduk dengan Wati. Bah. Irsyad mencari-cari cara agar Wati segera dipindahkan dari bangkunya. Saat olahraga, Irsyad menjegal kaki waktu sehingga Wati terjerembab ke bak pasir untuk loncat jauh. Ketika istirahat. Irsyad menambahkan bubuk cabe ke dalam es tehnya. Wati tersendak. Tapi anehnya ia tetap minum teh itu. Mungkin ia tidak sadar bahwa teh itu bukan teh biasa. Atau ia tidak berani meminta penjual teh untuk mengganti teh-nya. Aku yang berdiri agak jauh dan melihat kelakuan Irsyad menduga, Wati haus sementara uang sakunya tidak banyak. Ia tidak mungkin membeli es teh lagi.

Beberapa hari kemudian Wati menangis. Tasnya hilang. Aku segera melihat wajah Irsyah, kalau-kalau aku mendapati rasa berdosa di mukanya. Tapi wajah Irsyah biasa saja. Begitu juga dengan anak-anak lain. Lalu siapa yang jail? Wati sendiri tidak berani lapor pada guru sekolah karena takut dianggap pengadu. Di sekolah kami, pengadu mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Pengadu dianggap pengkhianat. Pengkhianat bukan teman. Jadi jangan harap ada yang menyapa mereka selama mereka sekolah disana.

Bel berdering, tetapi aku tidak langsung mengangkat pantatku. Aku menunggu sampai teman-temanku pulang dan berencana membantu Wati mencari tasnya. Aku tidak mau mereka melihatku terlihat akrab dengan Wati. Gunjingan. Jodoh-jodohan—mengolok-ngolok aku pacar Wati. Juga bully pasti jadi milikku. Aku bukan malaikat tetapi juga bukan setan. Aku tidak memiliki hati emas tetapi juga tidak terbuat dari tanah liat.

Aku cuma penakut. Di dalam benakku, sekolah adalah kompentisi nilai terbaik antara Doni, Haryo dan aku. Lain tidak. Sampai sekarang aku baru tahu kapasitasku sebagai teman. Aku tidak pernah tahu alamat-alamat temanku yang masuk dalam kategori tidak-terkenal. Bahkan temanku yang meninggal saat usia-usia awal kuliah baru kudengar sekarang, dua puluh tahun kemudian.

***

Aku menghentikan gesekan bow pada senar biolaku. Tarikan nafas panjang tidak menghilangkan perasaan tidak nyaman ini. Aku berharap bisa menemukan Wati. Tidak sekedar meminta maaf karena aku pengecut, tetapi lebih memulai persahabatan yang tertunda sejauh dua puluh delapan tahun. Memilah teman bukan karena tidak pernah mandi. Bukan karena kulitnya terbakar matahari atau kakinya penuh dengan koreng. Jika memang ia tidak bisa hadir, semoga dia membaca cerpen kecil ini.
*sumber gambar: thirsty roots

Wati Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar