Indonesia 500.000 Tahun Sebelum Masehi


Manusia yang mendiami bumi pertama kali berukuran raksasa. Tinggi mereka minimal mencapai sepuluh meter. Pada kalender 100 ribu tahun sebelum masehi. Manusia raksasa mulai berkurang. Suhu bumi, jumlah makanan dan jenis makanan mempengaruhi pertumbuhan manusia saat itu. Saat itu mulai bermunculan manusia-manusia kecil yang berukuran rata-rata dua meter. Manusia raksasa dan manusia kecil saling berebut kekuasaan. Raksasa menganggap manusia kecil sebagai ras yang rusak dan harus dimusnahkan. Manusia kecil ingin memusnahkan raksasa karena menganggap mereka sebagai makhluk rakus yang terlalu banyak menghabiskan sumber daya makanan, sehingga mereka harus dihabisi. Cerita ini kisah pertempuran terakhir raksasa dan si kecil di garis batas wilayah mereka.
***
Dukis mengamati dari balik pepohonan. Giliran jaga selalu membosankan, membuatnya menguap, sehingga ia menyelinginya dengan makan. Ia bersyukur bahwa tinggi tubuhnya termasuk yang terkecil, dengan demikian, sangat mudah baginya menjadi pengintai bagi manusia kecil.

Saat akan menyantap makanannya, Dukis mendapat sinyal telepati dari Barok. Ia membaca lewat batinnya bahwa Barok melaporkan ada pergerakan besar pohon-pohon di sisi utara—tempat dirinya saat ini berjaga. Barok sendiri adalah jenis manusia yang dapat terbang, sehingga dia tugaskan untuk melakukan patroli udara.

Dukis menyimpan makanannya. Matanya terpejam. Telinganya menajam, berusaha mendengarkan suara sekecil apapun. Tapi ia heran, kenapa tidak ada suara sedikitpun. Darimana Barok tahu ada pergerakan di sisi utara.

Dukis akan turun ke tanah, tetapi urung. Badannya merasakan getaran halus. Matanya kembali mengamati sekitarnya. Pohon-pohon mulai bergoyang-goyang. Tetapi karena apa? Tak ada yang melintas diatas tanah. Sebentar. Diatas tanah? Bagaimana jika—

Pohon tempatnya berdiri bergoyang sedemikian hebat. Dengan cepat Dukis menduga apa yang terjadi. Dia merasa terlambat memperingatkan Barok dan pasukannya. Hanya beberapa kata yang sempat terucap sebelum tubuhnya melayang ke bawah menghantam bebatuan. “Ba—wah ta—nah.”

Barok menghembuskan nafas. Dadanya sesak. Hanya ada satu kemungkinan kenapa Dukis terbata-bata menyampaikan laporannya dan telepatinya tak dapat menghubunginya lagi. Barok menyebar telepati kepada pasukan penerbangnya, “Raksasa itu lewat bawah tanah.” Segera riuh kekuatiran menerpa-nerpa batin Barok. Anggota pasukannya saling berkirim telepati tentang kekuatiran mereka. Di sebelah utaralah terletak sungai utama yang memberikan kehidupan di pusat hutan, tempat manusia kecil hidup. Jika sampai kaum raksasa meracuni sungai itu, maka akan tumbanglah pertahanan mereka.

Suatu bayangan melintas di pikiran Barok. Bayangan itu bukan hasil telepati anggota pasukannya. Bayangan itu adalah wajah Karmelia. Malam sebelumnya ia berjanji akan menikahi gadis itu sesudah memenangkan perang. Barok menjanjikan sebuah rumah pada pohon paling besar di sisi timur sungai. Karmelia berbinar-binar menambahkan akan menanam sulur berwarna merah dan kuning untuk menghiasi atapnya. Barok menyahut akan mengajarkan bagaimana terbang seperti dirinya dengan mengandalkan pernafasan dan dada. “Aku akan mencari buah-buahan bersama mereka dengan terbang. Mereka akan membawakanmu buah paling manis, sedangkan aku akan membawa ikan hu. Kamu tahu, ikan hu selalu bertelur di panas ketiga setelah hujan.”

Senyum Karmelia menghilang dari benaknya. Barok mencoba mengingat bau tubuh Karmelia yang diciuminya tadi malam. Barok tahu itu wangi lavender, tetapi ia pura-pura tidak tahu. “Bau apa ini?”

“Rahasia.” Setengah giginya nampak di mulutnya yang menganga. “Biar tidak ada wanita yang sanggup meniruku. Jadi aku tidak punya saingan menarik perhatianmu.”

Barok menengadah. Teman-temannya tiba-tiba terhenti saling bertelepati. Tidak biasanya Barok nampak seperti orang yang lemah. Mereka berada setengah perjalanan ke sisi utara. Tempat dibawah mereka terbang ladang batu-batu pertahanan sebelum mencapai kawasan penduduk.

“Kita harus menang. Raksasa-raksasa itu tidak boleh mengotori sungai kita.”

Mereka terdiam.

“Furdi!”

“Disini.”

“Kamu yang aku tetapkan menggantikan aku.”

Furdi dan teman-temannya terkejut. “Apa maksudmu? Kamu sendiri mau kemana?”

“Kamu tidak akan melarikan diri, kan?”

Barok tersenyum kecut. “Aku menjanjikan kemenangan di pihak kita.”

“Bagaimana caranya?” salah satu dari mereka tampak bergetar karena kuatir dengan jawaban Barok.

Teman-temannya terbengong ketika Barok terbang melesat meninggalkan mereka.

Satu hal yang diketahui Barok dari kaum raksasa, mereka bernyali lebih kecil dari badannya. Jika pemimpin mereka mati, mereka akan ketakutan dan mundur dari peperangan.

Barok berhenti di udara untuk beberapa detik. Dibayangkannya kembali wajah Karmelita sebelum telapak tangannya saling bersinggungan. Dengungan frekwensi tinggi terkumpul di sekeliling tubuhnya dan dengungan itu akan mencapai tingkat tertinggi saat ras seperti Barok meledakkan tubuhnya.

“Karmelita,” sekali lagi Barok mendesis sebelum tubuhnya mendekatkan diri pada Gurdika, pemimpin raksasa yang berdiri congkak di depan gerbang manusia kecil.

Telinga teman-teman Barok tiba-tiba berdenging hebat. Mata mereka serentak beralih ke arah suara itu, tempat Barok terakhir mereka lihat. Pintu gerbang manusia kecil memerah dan anyir. Di dekatnya, kepala Gurdika menggelinding dengan mata terbelalak.

Indonesia 500.000 Tahun Sebelum Masehi Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar