Biarkan Aku Mencintaimu (Bagian 1)


“Kita bisa bicara?” Syanne mengerjap-ngerjapkan matanya yang kecil. Kepalanya berputar memperhatikan sekitarnya.
“Kenapa tiba-tiba kamu jadi sopan?” Deni menengadahkan kepala. Keringatnya bercucuran.
“Bisa di tempat lain,” bisik Syanne.
Deni meletakkan kunci inggris. “Brur, kamu terusin dulu, ya?”
Orang yang dipanggil Brur mengayunkan tangan dengan gaya hormat. Matanya mengedip. Seakan bertanya, “Dia pacarmu?”
Syanne mengikuti Deni ke belakang. Setelah mencuci tangan, Deni duduk di depan Syanne. “Jadi?”
“Aku hamil.”
Deni hampir terlonjak. Ludahnya terteguk. “Siapa yang melakukan?”
Syanne tidak menjawab. Justru air matanya menetes deras.
“Orangtuamu sudah tahu?”
Syanne sesenggukkan. Tangisnya lebih hebat dari tadi.
“Dengar Syan. Kamu datang kesini supaya aku membantu kamu, kan? Kalau kamu nggak ngomong apa-apa, terus bagaimana aku melakukannya?”
“Papa.”
Matahari bersinar terik, tetapi sengatan halilintar di waktu hujan deras menjalar di tubuh Deni. “Ya, Tuhan. Terus Mama kamu komentar apa?”
“Mama menyuruhku pergi dari rumah dulu. Mama takut Papa terus-terusan—“
“Sudah. Nggak usah diterusin, aku tahu kelanjutannya. Apa rencanamu sekarang?”
Syanne mengusap air mata dengan punggung tangan. Pelan-pelan dagunya terangkat. “Boleh tinggal di tempatmu sementara? Aku enggak tahu harus kemana. Aku enggak punya uang banyak, sebagai gantinya aku bisa cuci baju buat kamu. Masakin kamu. Bersih-bersih rumahmu.” 
Deni menarik nafas dalam-dalam. Bukannya tidak mau membantu; kehamilan Syanne bisa menjadi masalah. Bisa-bisa orang akan menuduh Deni yang menghamili Syanne.  Tetapi Deni tidak tega membiarkan Syanne yang hamil berkeliaran di jalan-jalan. Syanne tidak mungkin tinggal di tempat keluarga-keluarganya. Juga tidak mungkin di teman-temannya. Mereka pasti akan segera tahu kalau Syanne sedang hamil. Mulut mereka pasti akan segera berkicau dan kehamilan Syanne akan segera masuk dalam program-program TV, majalah, koran—
“Ikuti aku.”
Ruko tempat Deni tinggal terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar adalah bengkel motor. Lantai kedua tempat Deni tinggal. Lantai tiga digunakan Deni untuk memasak, mencuci pakaian dan gudang kecil. Lantai tiga hanya separuh beratap, sebab bagian belakang digunakan untuk menjemur pakaian.
“Ini kamarku. Kamu tinggal disini saja, sebab disini dekar kamar mandi. Aku nanti tidur diatas. Aku minta maaf kalau ruang ini enggak ada pintunya. Maklum, selama ini yang tinggal cuma aku doang. So.. aku mau telanjang di rumah, mau telanjang sambil masak enggak problem, kan?” Deni nyengir. Mulut Syanne setengah terbuka, memperlihatkan sederet giginya.
“Nanti aku pasang rel buat kelambu.”
“Gak usah repot. Gini aja udah cukup. Aku bisa ganti di kamar mandi.”
Bukan masalah ganti pakaian, pikir Deni. Bagaimana jika kamu tidur nanti.
“Oke. Kamu istirahat dulu. Aku mau kembali kerja. Ambil saja makanan di kulkas. Atau kalau mau masak sesuatu, masak saja. Enggak perlu ijin-ijin segala.”
Deni hampir saja jatuh. Satu anak tangga terlewati tanpa sengaja. Benaknya diliputi banyak pikiran. Sebagai anggota girl band di negara ini, Syanne pasti punya uang banyak. Kenapa dia mengatakan tidak punya? Apakah Syanne sengaja menjebaknya?.Dan anak yang dikandungnya sekarang dari ayahnya? Gila! Ini beneran? Ada ayah segila itu? Deni tidak sabar menunggu bengkelnya tutup. Ia sudah membuat daftar tanya yang panjang.
“Pacar Mas Deni cantik. Kok aku seperti pernah lihat, ya? Kayak wajah artis.” Jono tersenyum pada Udin.
“Atau memang artis?” Udin mengedip-ngedipkan matanya.
Deni cuma tersenyum. Udin memang mata keranjang, istrinya dua. Konon, masih ingin punya istri ketiga. Jono sampai geleng-geleng kepala, ia pernah bertanya, apa rahasianya? Jawab Udin, “Rahasianya tidak jomblo seperti kamu.” Udin tertawa ngakak.
***
Deni grogi menapaki tangga. Kurang beberapa tangga lagi adalah ruangan Syanne. Biasanya ia menjalani ritual hariannya sesudah bekerja adalah mandi. Kali ini pikirannya bukan sekedar mandi. Perasaannya campur aduk. Gembira. Takut. Malu. Perut mulas. Semuanya menghasilkan keringat dingin berlebihan.
“Memangnya ada apa dengan aku ini?” batinnya. Syanne cuman teman, bukan pacar. Kenapa harus dag dik duk? Ataukah sekarang perasaan ini berubah karena dia sekarang harus hati-hati. Ia harus mengubah penampilannya. Tidak bisa cuma sekedar bertelanjang dada sehabis mandi. Tidak lagi hanya makan seadanya. Ia harus juga memikirkan Syanne.
“Hai. Aku mandi dulu, ya?” Deni melihat Syanne sedang membaca buku. Aura artisnya benar-benar masih kuat, meskipun sesungguhnya Deni tidak terlalu suka dengan girl band. Baginya girl band hanya sekumpulan gadis-gadis dengan jumlah sekampung berteriak-teriak dan berloncat-loncatan dengan fans mereka yang fanatik mengacung-acungkan cahaya ponsel agar penampilan idola mereka kelihatan ramai.
Syanne mengangguk. Darah Deni keluar-masuk jantung dengan kecepatan tinggi. Hampir saja Deni lupa membuka pintu kamar mandi.
“Kamu sudah mandi?”
“Udah.” Syanne tertawa. Deni tampak aneh sekarang karena kikuk, padahal Deni yang dikenalnya selama ini jauh dari itu. Meski bukan idola teman-temannya, Syanne cukup tahu siapa-siapa saja gadis-gadis di sekolah mereka yang berebut perhatian Deni. Dan benar saja, Deni keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk untuk menutupi bagian bawah badannya. Ia tersadar ketika Syanne memalingkan muka. Buru-buru ia kembali ke kamar mandi.
“Tolong ambilkan bajuku apa saja di lemari,” teriaknya dari dalam kamar mandi.
Syanne membuka lemari dekat bagian kepala tempat tidurnya. Bau harum pewangi pakaian mengoyak-ngoyak hidungnya. Baju-baju Deni tertata rapi. Terlalu rapi untuk ukuran cowok. Temannya ini membagi tumpukan pakaian menurut jenis. T-shirt, hem, celana, dan pakaian dalam tidak tercampur.
Dengan agak malu diambilnya pakaian dalam, kaus, dan celana hawai. Wajahnya agak merona ketika menyerahkan pakaian Deni lewat celah pintu kamar mandi.
Deni keluar dengan wajah kemerahan. Kalimat yang ada di otaknya cuma, “Aku ke dapur dulu buat masak. Maaf, ya. Tadi siang kamu mungkin kelaparan, aku tidak biasa makan siang, jadi kalau siang enggak ada apa-apa.”
“Tapi cemilan kamu banyak. Aku sempat nyemil brownies kukusnya. Nggak pa-pa?”
Deni menahan senyum. Semula Deni berpikir setiap artis berhati-hati kalau makan.
“Aku udah masak sup,” tambah Syanne.
Deni sempat terperanjat. Wah, artis juga bisa masak?
“Kalau gitu kita makan sama-sama diatas, yuk?”
“Enak juga. Beneran nggak sangka kamu bisa masak.” Deni baru saja mengecap-ngecap dua sendok sup ayam. Mereka duduk berhadapan di meja kecil. Deni membelakangi tempat jemuran, sebelum mesin cuci, sedangkan Syanne membelakangi kompor gas.
Syanne tersendak. Deni mengangsurkan segelas air.
“Setiap orang butuh makan. Kenapa memasak menjadi hal yang aneh?”
“Ya, setiap orang memang butuh makan,” sahut Deni. “Tetapi tidak semua orang bisa punya seseorang yang membantunya di dapur.”
Deni menghabiskan waktu makan malamnya dengan bercanda. Ia memang sengaja tidak bertanya sesuatu yang membuat Syanne merasa terbebani. Wajah Syanne, tawa, candanya memang sedikit membuat malam itu berbeda dari malam-malam sebelumnya, meskipun Deni tahu, Syanne memaksakan dirinya untuk tersenyum. Tetapi ketika Syanne menonton TV bersamanya di lantai dua, Deni tidak bisa tidak bertanya.
“Aku tahu, ini memang bukan urusanku. Tetapi karena kamu tinggal disini, aku jadi pengin tahu ada apa dengan kamu sampai kamu seperti ini?”

BERSAMBUNG ke Bag 2 , Bag 3, Bag 4, Bag 5 , Bag 6, Bag 7
, Bag 8

*Sumber gambar: Karl Liversidge, https://www.artstation.com

Biarkan Aku Mencintaimu (Bagian 1) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar