Bandar


Suara musik dangdut koplo berteriak keras-keras. Beberapa warung mulai menata botol-botol minuman keras pada meja-meja. Jam delapan malam para pelanggan laki-laki mulai berdatangan. Di daerah ini, wanita seperti ini disebut sebagai bandar. Kata bandar disini tidak ada hubungannya dengan judi, tetapi lebih mirip purel di pub-pub.

Wanita-wanita itu bertugas menarik pria-pria agar mampir di warung yang dijaganya dan menawari mereka minuman sebanyak-banyaknya. Mereka akan mendapat komisi dari pemilik warung dan tips dari pria-pria yang mereka temani.

Bondan berjalan lesu. Uangnya hanya tinggal beberapa rupiah. Jajaran botol-botol bir di seberangnya sungguh menggiurkan. Tiga malam berturut-turut dirinya mabuk kepayang menenggak botol-botol itu sambil dikelilingi bandar-bandar dalam pakaian mini. Uang hasil kerja di bengkel sepeda motor langsung ludes. Sekarang uang miliknya hanya cukup untuk makan malam.

Dia mencoba bergeming ketika melalui warung-warung itu. Tidak mungkin dia membeli makanan di daerah ini. Semua harganya fantastis. Sepotong tahu goreng saja bisa dua ribu rupiah. Bondan ingat, satu kilometer dari tempat ini, terdapat warung dengan harga cukup murah. Malahan bisa hutang.

Langkahnya baru saja dalam hitungan belasan, ketika seorang wanita menyapanya. Bondan terkejut. Di samping kirinya berdiri seorang wanita. Dia bersandar pada pohon Siwalan. Tubuhnya kecil. Rambutnya pendek. Sebatang rokok diapit oleh ibu jari dan telunjuknya.

Cukup menggiurkan. Pikir Bondan. Dia menebak umur wanita ini pasti muda sekali. Kulit mukanya mulus. Matanya kecil. Wajahnya tak berpoles kosmetik apa-apa. Bondan mengoyang-goyangkan tangan sebagai tanda dia tidak mau memakai jasa wanita itu. Tips kurang dari lima puluh ribu jelas tak akan diterima wanita semacam ini. Tapi anehnya, wanita itu mendekatinya dengan berjalan bak peragawati.

Ia menyeburkan asap ke atas sebelum menginjak-injak rokok yang dihisapnya.

“Maaf, Dik. Saya tidak punya uang.”

Wanita itu tertawa. “Saya tidak minta uang, Om.”

Suaranya kecil. Manja. Bondan seperti berhadapan dengan seseorang yang sedang fly. Badan wanita itu bergoyang-goyang di depannya. Hanya beberapa senti saja tubuh mereka pasti bersentuhan.

“Temani saya, Om. Saya lagi sendirian. Om tidak perlu bayar.” Kedua tangannya bergerak keatas. Bagian atas tubuhnya tidak bergoyang tetapi pinggangnya berputar-putar menggemaskan.

Hasrat Bondan mulai terpancing.

Mulut gadis itu melebar. Menampakkan gigi putih bersih. “Ajak saya ke rumah, Om. Saya bisa jadi istri sementara, kok.” Mata kirinya mengedip-ngedip.

Bondan menggandeng tangannya, membimbing wanita itu menuju tempat kosnya. Tempat dengan bau apek karena matahari tak menjangkau kamarnya. Jendelanya pun cuma satu, menghadap ke selatan. Bondan memutar kunci dan menutup tirai.

Dalam kegelapan kamarnya, Bondan masih melihat wanita itu melepas tank top. Ia berjalan mendekati Bondan. Dari jarak semeter, Bondan dapat mencium aroma bir. Wanita ini pastilah sedang mabuk berat, pikirnya. Tidak ada perempuan waras yang mau melayaninya tanpa imbalan apa-apa. Hasrat mengalahkan pikiran. Dalam sekejap, dua badan saling menindih.

Bondan terengah-engah. Tiba-tiba saja bau bir berganti dengan bau busuk. Ini jelas bukan bau dari kasurnya yang menghitam. Bukan pula bekas makanan yang kadang-kadang malas ia bersihkan. Ini bau bangkai. Dengan keheranan, Bondah merasa bibir wanita itu seakan terus menempel pada miliknya. Ia mencoba merenggangkan pelukannya. Wanita itu mengeluh pelan.

Pria itu semakin bingung. Badan wanita itu sudah menjauh darinya, tetapi kenapa ia merasa masih ada sesuatu yang menempel pada bibir dan pipinya. Diusap-usapkan dengan tangan. Matanya yang sudah biasa melihat dalam gelap mencoba menajam. Ia melihat sesuatu seperti serpihan-serpihan kulit dan lengket ada di jari-jarinya. Sontak dilihatnya wanita itu.

“Maaf, Mas. Wajah saya memang sering rusak. Tiap hari harus saya ganti. Saya butuh kulit wajah punya Mas. Boleh, ya?”

Tangan wanita itu membengkap mulut Bondan dengan tapak tangannya. Tangan Bondan mencoba sekuat tenaga mematahkan cengkeraman wanita itu, tetapi tampaknya tangan wanita itu seperti batu. Mata Bondan melotot. Nafasnya tersengal-sengal. Wanita itu mengacungkan pisau yang entah darimana. Sinar bulan dari jendela membuatnya berkilat-kilat.

Bondan menjerit tertahan saat pisau mulai menguliti wajahnya.

Bandar Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar