Ketika Engkau Ada


Bisma mengamati dari jauh, ingin tahu, apa saja yang dilakukannya. Jika dilihat dari luar, Flori bukan gadis menarik—setidak-tidaknya menurut Bisma. Tingginya hampir setinggi dirinya. Rambut cukup lebat. Alis matanya tipis. Hidungnya bolehlah disebut mancung. Bisma tidak suka dengan mata kecilnya, atau pinggangnya yang terlalu ramping. Secara keseluruhan tampak kurus dengan tubuh setinggi itu.

Perkenalan mereka juga tidak dapat dikatakan menarik. Bisma sedang mencari lokasi baru untuk budidaya ikan. Perkembangan bisnis ikannya sedang membaik. Permintaan ikan penakarannya semakin bulan semakin meningkat. Ia berupaya mencari tanah murah di dusun-dusun kecil. Saat melintasi hutan jati, ia melihat Flori. Tubuhnya penuh luka. Pakaiannya terkoyak di berbagai tempat. Bisma menduga Flori korban pemerkosaan atau penganiayaan. Selama beberapa hari ia pergi ke dusun-dusun terderkat, berharap ada salah satu dari mereka yang mengenal Flori.

Mengherankan. Tidak ada yang mengenalnya. Bisma memanggil namanya dengan Flori bukan karena gadis itu mengatakannya. Bisma melihat tulisan di kalungnya. Flori tak pernah berbicara. Pandangannya kosong. Seringkali tampak bingung. Jiwa Flori seperti berada di tempat lain tetapi tubuhnya masih di dunia ini.

Bisma berniat melaporkan ke polisi, tetapi urung. Ia takut justru polisi akan mencurigai dirinya sendiri. Pun jika membuat iklan di koran, Bisma kuatir akan mengundang orang-orang yang jahil. Flori tak mengenali dirinya sendiri, lantas bagaimana dia tahu orang yang datang itu keluarganya apa bukan?

Dari berbagai kesulitan tentang Flori. Ada satu kesulitan yang paling sulit. Bisma menuntun Flori pada kamar tamu. Gadis itu duduk di tepi ranjang. Sampai malam, Bisma tak mendengar gadis itu keluar dari kamar. Ia menengok dan terkejut. Posisi Flori tetap sama seperti terakhir kali ia melihatnya.

Bagaimana harus memandikan Flori. Dia wanita dan tak ada wanita di rumah Bisma sejak Sabrina mengkhianatinya sewaktu SMA. Juga tak ada pembantu di rumahnya sejak salah supir ayahnya berselingkuh dengan ibunya. Tak ada sesuatu di dunia ini yang pantas mendapatkan kepercayaannya kecuali dirinya sendiri dan Tuhan.

Flori duduk dalam bathtub. Bisma duduk di tepi, menggosok badannya. Sepanjang menghabiskan waktu memandikan Flori, Bisma merasa heran. Kenapa tak ada rasa apapun, padahal ini pertama kalinya ia berdua dengan seorang wanita tak berhelai sebenang pun di kamar mandi. Apakah peristiwa dengan Sabrina sedemikian parah sampai aku tak merasakan apapun?

Bisma sering memperhatikan, terkadang Flori bereaksi apabila melihat bunga-bunga. Suatu pagi, Bisma membawa Flori duduk di taman belakang rumah. Pandangan Flori tiba-tiba beralih. Masih kaku. Tapi cukup memberikan isyarat gadis itu menyukainya.

Bisma duduk di teras sambil mengawasi Flori. Kopi ia sesap. Sudut matanya melirik koran pagi yang biasanya tak pernah ia baca. Kriminal, perselingkuhan artis, jegal menjegal dunia politik tak pernah disukainya. Setiap kali menemukan koran lemparan tukang loper, ia berharap menemukan berita-berita tentang bisnis.

Tidak bisa tidak kepalanya meneleng. Sebuah gambar gadis setengah halaman terpampang. Pemasang gambar ini pasti jutawan, pikirnya. Harga iklan di bagian depan sudah pasti berdigit tidak kurang dari sembilan. Di kepala berita tertulis bahwa gadis ini menghilang setelah pergi dari tempat kuliahnya. Matanya mengamati Flori dari tempat duduknya. Dibandingkan gambar itu dengan Flori.

***

Bisma menatap pintu. Untuk kesekian kalinya ia selalu membayangkan Flori-lah yang membuka. Menatapnya. Flori sudah menjadi ratu yang ia layani dengan sepenuh hati selama ini. Ada kesukaan tersendiri membeli baju untuknya, memakaikannya. Membedakinya. Menyisir rambutnya. Tiba-tiba Bisma menjadi cerewet dengan bercerita ini itu pada Flori. Memang tampak seperti orang gila karena Flori hanya diam saja.

Ayah Flori menangis sambil memeluknya saat Bisma mengantarnya. Tak terhitung betapa banyak ucapan terima kasih pria baya itu pada Bisma. Keluarga mereka sudah tak berharap Flori kembali setelah seseorang menelepon, meminta tebusan namun orang tersebut tidak pernah menghubungi mereka kembali.

Bisma memejamkan mata. Dihirupnya udara dalam-dalam. Ia berharap oksigen di paru-parunya akan meluruhkan sepi. Matanya terbelalak. Bau nasi goreng? Badannya menegak. Matanya menuju ke arah dapur. Ia baru sadar lampu dapur menyala. Bisma mengedap-ngendap. Kepalanya melewati batas pintu. Seketika seluruh tubuhnya dialiri air es.

Seorang wanita membelakanginya. Ia memakai celemek. Tangannya sedang mengaduk-aduk nasi diatas kompor gas. Bisma mengenali rambut itu. Kepalanya sering bersentuhan dengan telapaknya. Ia pernah membuka bajunya, memandikannya, menyelimuti…..muka Bisma memerah.

Bisma tahu wanita itu pasti menyadari keberadaan-nya. Suara sepatunya amat khas menapaki lantai keramik. Meskipun demikian ia tak menoleh.

“Darimana kamu tahu alamatku?”

Badannya berputar. Pipinya lebih kemerah-merahan dari sebelumnya.

“Aku mengikuti terapi psikologi. Dokter itu menghipnotisku. Aku menceritakan segala sesuatu yang bisa dilihat bawah sadarku.”

“Semuanya?” Bisma menelan ludah.

Flori mengangguk pelan.

“Termasuk ketika aku—“

Flori diam. Sekarang bukan hanya Flori yang berpipi kemerah-merahan.

“Maaf. Waktu itu aku—“

“Aku bisa mengerti.”

Lima menit waktu berlalu bagai menginjak pecahan kaca. Bisma tidak sanggup mengatakan apa-apa. Sesekali ia melirik Flori, berharap wanita itu mulai berbicara. Apa saja, agar ia tak usah berbicara. Perasaan berkecamuk ini amat menganggu. Tapi Flori juga diam.

“Oke. Aku akan bertanggung jawab. Aku tahu itu salah.”

“Aku sudah bilang a-ku bi-sa me-nger-ti. That’s okay.”

Flori perlahan-lahan mendekatkan tubuhnya. Tangannya melingkari pinggang Bisma. Keningnya jatuh menyentuh kening Bisma.

“Terima kasih. Aku cuma pengin ngomong itu. Andai bukan kamu yang menemukan aku saat itu, keadaanku bisa lebih buruk dari sekarang.”

Tangan Bisma bergetar ketika mencoba melingkarkan tangannya memutari pinggang Flori.

Betapa aneh perasaan ini. Berkali-kali ia mempunyai kesempatan lebih dari sekedar merawat Flori. Tetapi rasa itu tak pernah datang. Justru ketika Flori sadar sepenuhnya, Bisma malah seperti menghadapi rasa lain. Rasa yang mungkin pernah menguasainya.

Bisma membuang pikiran itu jauh-jauh. Ia cuma ingin merasakan sesuatu yang lebih nyata. Pelukan Flori. Pelukan yang tak menuntut apapun. Tak memaksa. Hanya sekedar ingin menunjukkan kalau aku berterima kasih padamu.

Ketika Engkau Ada Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar