Reiko


Aku menatap gadis itu dari kejauhan. Tidak cukup jauh untuk menelusuri lekuk wajahnya. Rambutnya sangat lurus, sedada. Matanya mengingatkanku pada manga-manga Jepang. Bulat. Berkilau, seakan-akan ada air di dalamnya. Kalau saja aku seorang penulis, aku tidak akan membuat karakter seperti dia, terlalu sempurna. Tidak masuk akal.

Namanya Reiko. Gadis Jepang. Kampusku memang sering mengadakan pertukaran mahasiswa dengan Jepang. Maklum, jurusan Bahasa Jepang di tempatku termasuk keren. Banyak peminatnya. Dan Reiko sudah tiga bulan disini. Tetapi jangan menanyakan tentang Reiko padaku, aku tidak tahu. Aku tidak pernah berani seperti gerombolan Barman, anak Band kampusku. Sejak Reiko menginjakkan kaki di kampus ini, Barman dan teman-temannya menguntit Reiko bak wartawan.

Kemarin adalah hari terkeki buatku. Aku berpapasan dengan Reiko dekat kantin. Gadis itu masih belum fasih berbahasa indonesia, dia ingin membeli sesuatu tetapi bingung mengatakannya dalam bahasa indonesia. Aku memang tidak bisa berbahasa jepang, tetapi aku senang mendengarkan lagu-lagu jepang, maka dengan dicampur sedikit bahasa inggris aku menanyakan apa keinginannya. Ternyata dia butuh pembalut wanita. Aku bisa mengerti kenapa dia bisa kikuk sekali. Reiko! Tahukah kamu, aku takut kena serangan jantung ketika berjalan berdua denganmu.

***
Hari ini aku dapat kabar dari Sansan kalau Reiko tidak masuk. Aku berdiri di depan tempatnya kos. Tempat kos Reiko berbentuk kamar-kamar yang dapat didatangi tanpa mengganggu rumah induk. Tempatnya di samping kiri rumah induk, bertingkat dua. Bagiku ini bukan tempat kos, tetapi lebih mirip motel atau hostel.

Valentino Rossi sedang mengendarai aliran darahku saat kuketuk pintu.

“Sebentar.” Suara cadel terdengar.

Ia tampak terkejut. Aku baru sadar ‘dengan alasan apa aku kemari?” bodohnya aku. Mulutku terkunci beberapa lama sampai terdengar suara gadis kecil. Ia berjalan dari arah belakang. Kepalanya menelusup di samping Reiko.

“Dare desu ka?” Siapa dia? Kepalanya berputar ke atas.

“Watashi wa Bernard. Daigakusei. Anata wa dare desu ka?” Aku Bernard. Mahasiswa. Kamu siapa? Aku menjawab sambil tersenyum.

“Misaki,” jawabnya malu-malu. Matanya sekarang mengamat-ngamatiku seperti barang baru. Sepertinya jarang ada orang kemari.

“Aku dengar kamu tidak masuk. Aku cuma ingin menjenguk kamu.” Kataku terbata-bata.

“Itu benar.”

Aku berharap dia mengajakku masuk. Tetapi diam diantara kita sudah terlalu lama berlalu sejak dia berkata “itu benar”. Dengan lesu aku berpamitan, “Baiklah. Aku pulang dulu.”

“Tunggu.”

Reiko akhirnya bersuara tepat ketika aku membuka pintu.

“Masuklah dulu. Aku dan Misaki baru saja membuat teh.”

Aku masuk dan duduk di pojok sementara Reiko menyiapakn cangkir-cangkir teh dari tanah liat. Misaki duduk dekatku. Mata kecilnya tak henti-henti melihatku. Sesekali aku membalas memandangnya dan tersenyum. Dan gadis itu ikut tersenyum. Aku menepuk ruang kosong di dekatku. Misaki mengerti. Ia beringsut ke arahku. Tepat disampingku. Aku meraih dan memeluknya dari samping.

Reiko tampak kaget melihat Misaki begitu dekat denganku. Tapi sejurus kemudian ia menguasai diri. Ia meletakkan peralatan minum teh ala jepang di depanku.

Aku bertanya-tanya dalam hati. Siapa Misaki? Anaknya? Adiknya? Setahuku mahasiswa tidak boleh membawa anggota keluarga ketika menjalani pertukaran pelajar. Apalagi anak. Pertukaran pelajar hanya untuk mahasiswa yang belum menikah.

“Bolehkan aku memintamu sesuatu?” Reiko takut-takut bertanya.

“Katakan saja.”

“Bisakan kamu tidak mengatakan pada orang-orang tentang Misaki?”

“Siapa Misaki ini?”

Reiko terdiam. Wajahnya gugup. Ia menunduk sampai semua rambutnya jatuh, menutupi seluruh kepalanya.

Secara naluri aku mengulurkan tangan. Kuraih tangan Reiko. Aku hanya menyampaikan pesan lewat jabatannku kalau aku dapat dipercaya.

“Aku bukan wanita baik-baik. Ketika bersekolah, pergaulanku sudah diluar batas.”

“Misaki anakmu?”

Reiko mengangguk. Aku sekarang tahu kenapa dia menarik diri dari pergaulan. Bahkan untuk membeli pembalut wanita saja dia tidak bertanya pada teman-temannya sesama wanita. Dia pasti tahu jika pergaulan yang akrab memungkinkan teman-temannya datang ke tempat kosnya, dan mereka pasti akan tahu keberadaan Misaki.

“Ada satu syarat agar aku tidak mengatakan keberadaan Misaki.”

Reiko lesu. Ia menatapku, “Apa itu?”

“Kamu mau menjadi kekasihku?”

Reiko terbelalak. Dia seperti tidak percaya pada kata-kataku.

“Tapi aku sudah punya anak.”

“Ya, kamu memang baru saja mengatakannya. Aku cuma mendengar kamu mengatakan ‘ya’.”

Reiko menggeser tempat duduknya. “Aku juga menyukaimu Bernard-san. Tapi aku takut mempunyai pikiran seperti itu karena aku punya Misaki.”

Sekarang giliran Reiko yang aku peluk. Misaki tampak tersaingi. Ia duduk di tengah-tengah kami. Sepertinya ia memperhatikanku dan Reiko berbicara, meskipun dia tidak tahu bahasa indonesia, dan gadis itu menyimpulkan kalau aku adalah—

“Papa?”

Reiko terkejut mendengarnya. Bola matanya berputar dari Misaki ke aku. Aku mengangkat Misaki. “Mulai sekarang kamu bisa memanggil aku papa.” Aku mengatakannya dalam bahasa indonesia karena aku tidak mengerti mengatakannya dalam bahasa jepang. Reikolah yang menerjemahkannya. Sesudah Reiko selesai menerjemahkannya, Misaki memeluk kami berdua.
*picture is taken from: images-fast.digu.com

Reiko Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar