Gita Cinta dari SMP


Satu hal yang sangat disukai Amran di café hotel ini, omeletnya benar-benar sedap. Lembut. Kuning cerah. Berbau rempah yang tidak terlalu tajam. Ditambah dengan remah-remah ayam kripsi di satu sisi. Plus sepotong daging panggang. Semuanya sempurna ketika tangannya memegang secangkir double expresso.

Kakinya diselonjorkan ketika selesai menikmati makan paginya. Ya, yang seperti inilah hidup. Dinikmati dimana dan kapan saja, bahkan ketika melakukan perjalanan dinas dengan tugas berat sekalipun.

Rapat akhir kepala cabang akan diadakan siang nanti, jadi ia masih punya beberapa waktu bersantai menikmati suasana kota Bandung. Matanya hampir menutup semua ketika sebuah suara mengagetkannya.

“Amran?”

Amran kembali membuka matanya. Wanita di depannya jelas-jelas bukan bidadari, sebab bidadari tidak pernah membawa tas merek Hermes. Dan Anmran juga yakin, punggung kecil tanpa sayapnya tidak patas disebut malaikat. Lagipula, tak ada malaikat memakai pemerah bibir dengan lipgloss mengkilat seperti itu.

“Ya, Bu.”

Wanita itu langsung cemberut. “Memangnya tampangku seperti ibu-ibu?”

Amran terlonjak. Suara itu begitu dikenalnya. Ingatannya jatuh pada beberapa tahun silam, saat ia masih memakai seragam putih biru tua. Pertama kali memasuki kelasnya, ia tertawa melihat seorang gadis dengan rambut panjang yang selalu membawa botol minuman dan tempat makan dari plastik. Banyak dari temannya mengganggu gadis itu. Semula Amran sama seperti anak-anak lainnya. Lama-lama dia tidak tega melihat gadis itu duduk di pojok sendirian dengan air mata bercucuran sambil memegang gantungan kunci berbentuk kepala kucing.

Ia mendatanginya. Mengajaknya duduk bersama. Sejak saat itu tak ada yang berani mengganggunya. Siapa juga yang berani mengganggu gadis yang duduk bersama ketua kelas.

Beberapa minggu kemudian, teman-teman laki-laki Amran menyesal. Lolita berubah menjadi gadis terkenal. Bukan cuma karena hampir seluruh nilai ulangannya diatas angka sembilah puluh, tetapi karena Lolita tidak terlihat seperti mantan SD. Rambut kepang duanya tidak lagi berhias ikat rambut karet berbentuk merah muda. Rambutnya tergerai bebas, tiga kepang kecil di kiri kanan disatukan ke belakang.

“Lolita?” Amran cepat-cepat berdiri.

Lolita tersenyum. Ternyata Amran masih mengenalnya.

Lolita dan Amran segera terjebak dengan cerita-cerita masalalu. Amran agak kecewa ketika mendengar bahwa Lolita sudah menikah. Ah, sayang, pikir Amran. Betapa beruntung pria itu. Bisa menatap lengsung pipit Lolita tiap hari. Dapat membelai rambutnya yang sekarang dipotong pendek sebahu. Tangannya yang lembut dengan rambut-rambut halusnya tak mampu dinikmatinya saat ia bangun di pagi hari.

“Am. Kamu mau melanjutkan pembicaraan kita di kamarku.” Lolita memandang Amran tepat di mata. “Maksudku biar bisa privasi,” tambahnya, hati-hati. “Aku ingin ngomong banyak sama kamu. Pengin juga bisa ketawa-ketiwi seperti dulu. Kalau disini—“ lesung pipit Lolita melesak ke dalam. “Malu.”

Duh, dia kembali bersikap seperti masih SMP. “Suamimu?”

“Aku dan suamiku tinggal di Surabaya. Aku kesini karena menghadiri pembukaan cabang baruku.”

“Oke.” Amran menjawab senang campur takut-takut dengan sedikit campuran malu.

“Sudah punya anak berapa?” tanya Lolita ketika mereka keluar dari lift.

“Belum menikah.”

“Oh.” Senyum Lolita mengembang. Ia mempersilahkan Amran masuk terlebih dahulu sementara ia menutup pintu. Amran duduk di sofa bagian depan sebab perasaannya jengah jika harus duduk di tempat tidur Lolita. Bau Lolita menyeruak saat wanita itu memutari meja sebelum duduk di samping Amran. Kini mereka tampak seperti belasan tahun lalu. Duduk berdua.

“Kalau kamu sendiri, berapa anakmu?”

Lolita menggeleng. Dari sudut matanya, Amran menangkap kesedihan yang begitu berat. Tetapi Amran berusaha menahan diri. Lolita yang sekarang sudah bersuami. Tak pantas jika dia—

Lolita menutup mukanya dengan kedua tangan; bertelekan pada kedua lututnya. Ia menunduk. Meski tanpa suara, Amran mengetahui bahwa mantan gadisnya ini menangis.

“Ada apa?”

“Aku boleh jujur sama kamu seperti dulu? Aku tidak tahu lagi harus bicara dengan siapa.”

“Tentu saja.”

Lolita sudah menikah selama dua tahun. Selama itu, mereka belum pernah berhubungan layaknya suami-istri. Lolita baru tahu bahwa suaminya, Doni, penderita diabetes setelah menikah. Doni sudah berusaha melaksanakan kewajibannya berkali-kali, tetapi kelaki-lakiannya tidak mau diajak kompromi. Dokter mengatakan bahwa itu disebabkan karena kadar gulanya terlalu tinggi.

Lolita ingin bercerai, tetapi Doni tidak mau. Dalam keluarga Doni, cerai itu aib. Tidak satupun dari keluarga Doni yang bercerai. Lolita mulai melirik alat-alat pemuas kebutuhan biologis yang dijual di toko online. Pertama-tama, cara itu sudah cukup membuatnya bertahan hidup tanpa perceraian, tetapi lama kelamaan, ia membutuhkan kehangatan yang tak semu. Ia ingin merasakan sebuah lengan merengkuhnya dalam permainan suami kepada istrinya. Bukan klimaks yang dicarinya, tetapi perasaan dicintai. Dibutuhkan. Dihargai. Lolita hanya menginginkan bentuk ragawi dari ungkapan cinta.

Amran tak bisa menahan diri. Kehausan selama belasan tahun dari cinta Lolita sedemikian menghanguskannya. Logikanya berjalan di tempat. Hanya kelembutan yang menyentuh setiap pori kulitnya membuatnya semakin gila membutuhkan Lolita.

Saat kegilaan mencapai puncaknya, Amran tiba-tiba sadar diri. Lolita mengeluh ketika sentuhan-sentuhan itu menghilang.

“Kamu sudah tidak menyukaiku?” Mata Lolita terbuka separuh.

“Andai saja aku bisa membuatmu merasakan betapa aku menginginkanmu, kamu tidak perlu bertanya.” Amran mengendurkan dekapannya. “Ini salah Lolita. Entah dengan penjelasan apa. Tidak seharusnya kita melakukannya.”

“Apakah aku tidak boleh bahagia?”

“Andai aku suamimu, aku sudah membuatmu bahagia saat ini. Aku kecewa ketika kamu meninggalkan aku waktu SMA. Aku hampir gila membayangkan setiap hari membuat tubuhmu terbuka dan tidak melewatkan satu hari pun tanpa bergelut denganmu. Kamu pikir kenapa aku tidak menikah sampai sekarang? Tapi demi Tuhan, Lolita. Ini tidak benar.”

“Kamu ingin aku menceraikan suamiku?”

“Aku mohon, Lolita. Jika kamu bercerai, jangan jadikan aku sebagai alasan.”

Amran dengan gontai bangkit. Dirapikannya bajunya sebelum ia membuka pintu. “Maafkan aku. Aku akan selalu mencintaimu dengan cara yang tidak kamu tahu.”

Gita Cinta dari SMP Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar